Lihat ke Halaman Asli

Siwi Nugraheni

Dosen salah satu PTS di Bandung

ChatGPT: Potensi Monopoli Informasi?

Diperbarui: 27 Februari 2023   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: vecteezy

Beberapa hari ini Kompasiana ramai dengan tulisan yang membahas ChatGPT. Awal mengetahui ChatGPT, dalam hati muncul pertanyaan: makanan apa pula ini? Hehe.

Terus terang, pengetahuan saya tentang ChatGPT saya dapat dari hasil membaca tulisan-tulisan di Kompasiana. Lalu sedikit banyak mulai mengerti, meskipun belum pernah mencobanya.

Sebagai pengajar, kami (saya dan teman sejawat) sempat berdiskusi bagaimana mengantisipasi ketika nanti memberi tugas menulis makalah ke mahasiswa, agar ketika mereka melakukan kecurangan kami bisa mendeteksi. Sudah adalah beberapa kiat. Hehe. Jadi seperti saran Pak Ludiro Madu dalam tulisannya, saya mengawali semester ini dengan senyuman ketika berada di depan kelas.

Namun di sisi lain, saya melihat ChatGPT juga memiliki potensi merugikan dalam bentuk berbeda, yaitu monopoli informasi. Hanya satu macam informasi yang (di)muncul(kan), yaitu yang sesuai dengan pihak-pihak yang memiliki 'saham' (dan tentu kepentingan) di perusahaan 'penghasil' ChatGPT. Hal ini dilandasi pengalaman saya dengan Google.

Dulu saya menganggap Google sangat pintar sebagai mesin pencari di internet. Sangat lengkap informasi yang dimilikinya. Very powerful, kata orang. Sampai-sampai ada istilah googling, menggantikan kata searching. Sampai pada suatu saat saya sadar (atau tepatnya disadarkan teman) bahwa tak semua berita atau artikel atau tulisan yang pernah diunggah di internet muncul ketika dicari di Google.

Saya pernah melakukan percobaan, membuat artikel yang 'anti mainstream' dan saya terbitkan di sebuah blog. Lalu saya cari di kolom Google judul tulisan saya tersebut, persis kata demi kata, dan tidak saya temukan. Namun ketika tulisan saya itu saya cari dengan mesin pencari lain (yang berlogo bebek itu), eh ..muncul di urutan pertama.

Apakah ada semacam sensor yang diterapkan oleh Google? Saya tidak tahu. Tapi bila ini terjadi, dari sisi perkembangan ilmu pengetahuan, tindakan sensor atas pendapat, opini, atau hasil penelitian yang tidak sejalan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu akan sangat merugikan. Informasi akan seragam. Tidak ada lagi adu pendapat untuk mencari kebenaran. Padahal konon perkembangan ilmu didasari oleh pertarungan antara tesis dan anti-tesis, untuk menghasilkan tesis baru.

Bayangkan jika ChatGPT juga hanya memberikan jawaban-jawaban yang sejenis, sementara yang dianggap tidak sesuai (yang tidak mewakili kepentingan kelompok tertentu) disembunyikan, maka pendapat menjadi seragam. Tidak ada lagi diskusi.

Mempelajari ilmu yang sudah disensor, ibarat belajar tentang dogma, berpedoman 'pokoknya'. Critical thinking akan padam.

Teknologi yang makin berkembang memang makin memudahkan hidup manusia. Namun teknologi juga dapat digunakan demi menguntungkan pihak-pihak tertentu, yang dampaknya dapat merugikan pihak lain (masyarakat umum). Saya jadi ingat nasihat Mbah saya: Ojo gumunan, ojo kagetan, tetep eling lan waspada. Artinya kurang lebih: jangan mudah kagum, jangan mudah kaget, tetap sadar dan waspada. Mengagumi suatu temuan teknologi tentu sangat baik, tetapi perlu dihindari kekaguman yang membuat terlena.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline