Lihat ke Halaman Asli

Siwi Nugraheni

Dosen salah satu PTS di Bandung

Thaler, Mubyarto, dan Smith

Diperbarui: 18 Januari 2023   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by pch.vector on Freepik 

Membaca rekam jejak Thaler, peraih Nobel bidang Ekonomi 2017, saya jadi ingat almarhum Mubyarto, ekonom Universitas Gadjah Mada, yang gigih memperjuangkan konsep Ekonomi Pancasila (meskipun istilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim, tetapi Mubyarto yang akhirnya lekat dengan konsep tersebut). 

Bukan hanya isi pemikiran mereka berdua yang, menurut saya, searah, tetapi juga jalan hidup sunyi yang dilaluinya. Kolom Sosok (Kompas, 12 Oktober 2017) memberi judul "berjuang sendirian di tengah cibiran" untuk Richard H. Thaler. Jalan hidup akademis Pak Muby tak jauh beda. Pemikiran Ekonomi Pancasila tidak populer, bahkan di kampusnya sendiri, dan juga mendapat kritikan tajam di kalangan ekonom tanah air.

Dari sisi pemikiran, baik Thaler maupun Mubyarto mencoba mendudukkan kembali Ekonomi dalam kelompok Ilmu Sosial, ilmu yang menganalisis perilaku manusia, yang tidak selalu mencerminkan homo economicus rasional, sehingga tidak begitu saja dapat di-matematika-kan. Kritik terhadap Ilmu Ekonomi modern adalah pendekatan dalam analisis yang dianggap 'terlalu matematis', untuk menjelaskan perilaku manusia.

Mekanisme Pasar dan Efisiensi

Sejak semester satu, kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi diajarkan bahwa dalam pengambilan keputusan, manusia adalah makhluk rasional, yang selalu ingin memaksimumkan utilitasnya, dengan berpikir berlandaskan pada besar kecilnya manfaat dibandingkan ongkos dari setiap tindakannya. Singkat kata, jika sebuah tindakan akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dari ongkosnya, maka keputusan homo economicus yang rasional adalah melakukan tindakan tersebut. Sebaliknya, jika tindakan yang direncanakan dilakukan akan menghasilkan manfaat yang lebih kecil dari biayanya, maka keputusan yang rasional adalah tidak mengambil tindakan tersebut. 

Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berupaya memaksimumkan utilitasnya (baca: keuntungan, kepuasan), maka setiap orang akan berusaha mencapai efisiensi, yang pada akhirnya akan menghasilkan alokasi sumber daya (yang terbatas jumlahnya itu) juga menjadi efisien. Apabila efisiensi tercapai, maka kemakmuran bangsa-bangsa di dunia akan tercapai. Inilah esensi An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations karya Adam Smith (1776), cikal bakal mekanisme pasar, yang dianggap sebagai awal mula liberalisme ekonomi.

Dalam perekonomian yang dilandaskan pada mekanisme pasar bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah. Menyadari bahwa pasar tidak sempurna, banyak terjadi kegagalan (market failures), maka pemerintah perlu melakukan intervensi. Peran pemerintah dalam perekonomian adalah menyediakan insentif dan disinsentif yang diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat, sebab sebagai makhluk rasional, tindakan manusia akan dipengaruhi oleh insentif dan disinsentif. Namun peran pemerintah tersebut tetap akan bekerja lewat mekanisme pasar, melalui interaksi antara permintaan dan penawaran.

Dalam perkembangannya, Ilmu Ekonomi banyak menggunakan persamaan-persamaan matematika untuk menjelaskan perilaku (manusia) pelaku ekonom; dan pendekatan matematis hanya dapat dibangun berlandaskan asumsi bahwa pelaku ekonomi adalah makhluk yang rasional.

Thaler dan Mubyarto VS Adam Smith?

Thaler menyatakan bahwa manusia cenderung tidak rasional, ikut-ikutan, sampai melakukan moral hazard. Itulah yang menyebabkan krisis ekonomi di sejumlah negara dan wilayah, seperti: Asia, Yunani, dan Amerika Serikat. Dalam kasus lain, 'ketidakrasionalan' manusia justru dibutuhkan untuk mencapai kesinambungan bisnis dalam jangka panjang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline