Lihat ke Halaman Asli

Siwi Nugraheni

Dosen salah satu PTS di Bandung

Akademisi dan Publikasi Non-Jurnal-Ilmiah

Diperbarui: 31 Desember 2022   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koran Kompas dari kompas.com

Menarik menyimak pendapat Yudi Latif yang menyatakan bahwa pemberi sertifikasi intelektual itu adalah surat kabar (baca: bukan jurnal ilmiah) (Kompas 25 Juni 2015). Jika hasil pemikiran kaum akademisi ingin berdampak luas, tulislah di media massa, sebab pengambil kebijakan menonton televisi dan membaca surat kabar, bukan jurnal ilmiah. Argumen ini berkorelasi erat dengan pernyataan Presiden Jokowi, bahwa Kompas (baca: media massa) adalah referensi penting bagi presiden untuk mendapatkan informasi dalam rangka mengelola negara (Kompas 28 Juni 2015). Apa yang dinyatakan Jokowi seperti terkonfirmasi ketika sehari kemudian presiden mengadakan pertemuan dengan beberapa ekonom. Bisa ditebak, ekonom-ekonom tersebut adalah mereka yang tulisannya rajin muncul di media massa, terutama Kompas.

Bukan Menara Gading

Kritik lama yang ditujukan pada dunia kampus adalah tidak nyambungnya mereka dengan kehidupan di luar kampus. Teori, hasil analisis dan kajian ilmiah didiskusikan serius di dalam kampus, di antara mereka yang bergelut di bidang yang sama, dengan bahasa teknis yang (seringkali hanya) dipahami oleh kalangan dengan latar belakang ilmu yang sama; tetapi minim aplikasi untuk kehidupan awam. Perguruan Tinggi (PT) sering diibaratkan sebagai menara gading, meskipun dharma ketiga Tridharma PT menyatakan bahwa misi PT adalah karya pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh warganya (civitas academica). Namun kegiatan pengabdian biasanya tidak digarap sesungguh-sungguh pendidikan dan penelitian (dharma pertama dan kedua Tridharma). Pengabdian kepada masyarakat sering jatuh pada sekedar kegiatan sedekah (charity). Bukan berniat mengecilkan sedekah, tetapi kegiatan pengabdian pada masyarakat mestinya melampaui sedekah, karena tujuan pengabdian adalah pembangunan masyarakat (community development) sehingga mereka menjadi (semakin) berdaya.

Pemberdayaan masyarakat lewat kegiatan pengabdian salah satunya dilakukan dengan intervensi pada kebijakan publik. Pemaparan ide secara lisan (wawancara) dan tertulis (artikel) di media massa adalah sarana jitu untuk melakukan intervensi tersebut, hal yang dikonfirmasi oleh pernyataan Yudi Latif dan Jokowi di atas.

Penerjemah dan Jembatan

Menuangkan hasil penelitian, kajian dan ide menjadi sajian yang dipahami masyarakat umum yang bukan kelompok bidang ilmunya, bukan pekerjaan mudah. Tantangan yang dihadapi oleh akademisi dalam mengolah ide ilmiah dalam bentuk tulisan dan pemaparan lisan untuk konsumsi awam adalah mampu menerjemahkan bahasa-bahasa teknis dalam bidang tertentu menjadi bahasa yang sederhana; bertindak menjadi jembatan antara teori dan kehidupan nyata di masyarakat. Sebuah tantangan yang jika berhasil, memiliki dampak luar biasa.

Nicholas Stern adalah salah satu contoh bagaimana seorang ilmuwan berhasil memaparkan pentingnya menanggulangi perubahan iklim. Kekhawatiran ilmuwan akan dampak perubahan iklim yang dituangkan dalam laporan Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) sudah dimulai sejak tahun 1988 ketika IPCC dibentuk. Namun, baru satu dekade terakhir isu perubahan iklim menjadi topik pembicaran di hampir semua lapisan masyarakat, termasuk pelaku bisnis. Banyak kalangan menilai, popularitas perubahan iklim tidak lepas dari publikasi hasil kajian Stern tentang perubahan iklim dari aspek ekonomi. Stern menyampaikan masalah perubahan iklim dengan bahasa masyarakat umum, yaitu uang. Kerugian finansial akibat perubahan iklim dibandingkan biaya untuk mengatasinya (mitigasi). Bahasa untung rugi (secara finansial) ternyata lebih mudah dipahami.

Contoh lain dilakukan oleh almarhum Widjajono Partowidagdo ketika menjadi Wakil Menteri ESDM[1]. Wamen yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN) itu gencar melakukan sosialisasi argumen bahwa subsidi BBM harus dikurangi (bahkan dicabut) karena Indonesia bukan negara kaya minyak, dan subsidi BBM selain membebani APBN juga telah menyebabkan pembangunan sumber energi terbarukan tidak kompetitif. Sejak awal menjabat Wamen ESDM, Widjajono rajin muncul di media massa menyuarakan hal yang sama, dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami. Saya kira, banyak masyarakat Indonesia baru ngeh kalau Indonesia bukan negara kaya minyak setelah kemunculan almarhum di televisi-televisi nasional dalam berbagai acara talkshow.

Stern dan Widjajono adalah dua sosok ilmuwan yang mampu memenuhi panggilan tugas menjembatani dunia akademis dengan masyarakat di luar kampus, mewartakan hasil kajian untuk kalangan yang lebih luas. Para akademisi dan ilmuwan yang sudah sering memajang karyanya di media yang bukan kelompok bidang ilmunya adalah contoh-contoh yang lain. Hasil penelitian, kajian, pemikiran yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah bila memungkinkan mestinya diwartakan ke khalayak, terutama pemangku kepentingan, lewat media massa. Jika Dirjen Pendidikan Tinggi mendorong warga PT untuk mempublikasikan hasil riset mereka di jurnal-jurnal terakreditasi, nasional maupun internasional, maka hasil publikasi di surat-kabar mestinya mendapat kedudukan urgensi yang setara, terutama sebagai perwujudan dharma ketiga PT, yaitu pengabdian kepada masyarakat.

Cimahi, 11 Juli 2015  (catatan dari penulis: tulisan lama, sayang kalau cuma tersimpan di laptop)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline