Lihat ke Halaman Asli

Desi lestari

Mahasiswa Ilmu Politik/Universitas Siliwangi

Merdeka dalam Bayang-Bayang Penjajahan: Analisis Postkolonialisme dalam Sastra

Diperbarui: 7 September 2023   23:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dibuat penulis menggunakan Canva

Berbaju merdeka namun dibalik balutan pakaian tersebut terdapat tubuh yang masih bersarang virus serta segala komponen yang menggumpal menjadi sel-sel yang tumbuh tak terkendali dan perlahan-lahan merusak tiap-tiap jaringan vital. 

Kira-kira seperti itulah gambaran negara-negara bekas jajahan yang secara formal berteriak 'merdeka' namun masih berjuang atas penjajahan secara tak kasat mata, contohnya seperti imperialisme. 

Imperialisme menuntun negara-negara superpower masih saja bernapsu untuk memperluas daerah jajahan untuk industri, mendapatkan sumber tenaga buruh yang murah dari negara-negara kecil khususnya negara-negara bekas kolonial yang hingga saat ini masih melakukan usaha keras agar menjadi negara-negara besar yang maju dan sejahtera.

Namun upaya menggapai cita-cita menjadi negara maju tentu bukan perkara mudah bahkan saat bangsa menyatakan "Merdeka" sebetulnya bangsa saat itu tidak sepenuhnya merdeka dan masih lanjut melakukan sebuah perlawanan. Bukan lagi menghadapi kolonial melainkan neokolonialisme dimana kontrol sebuah negara tidaklah lagi melalui kontrol ketat politik dan militer secara langsung melainkan menggunakan praktik kapitalisme, globalisasi serta pasukan kultural yang berbentuk ekonomi, budaya dan linguistik dengan mempromosikan bentuk-bentuk itulah maka akan membuka gerbang pasar. 

Di saat yang sama kolonialisme juga tidak hanya meninggalkan luka dengan menjajah secara fisik melainkan juga meninggalkan bekas pada pikiran bawah sadar membuat yang dahulu terjajah melupakan identitas serta memiliki anggapan bahwa mereka yang telah terjajah merupakan sosok inferior karena mengingat kekalahan terhadap penjajah dan keambangan mengenai identitas diri. Belum lagi banyaknya macam lukisan mengenai negara-negara timur yang aneh, barbar, mistis, tidak beradab menjadikan negara barat membangun tutur yang memposisikan Timur Inferior dan Barat superior.

Banyaknya negara-negara yang telah memperoleh kemerdekaannya menjadi salah satu alasan kajian Poskolonial terlahir, kajian yang muncul pada 1970-an ini ditandai oleh kemunculan Orientalisme pada tahun 1978, buku tersebut di buat oleh Edward Said. Teori poskolonial sebenarnya merupakan teori yang menggabungkan bidang filsafat, sastra, politik, sosiologi, feminisme dan bidang lainnya yang mengkaji legalitas budaya mengenai peran kolonial. 

Studi poskolonial itu sendiri menganalisis dominasi negara barat terhadap negara timur sebagimana negara barat ialah superior dan negara timur ialah inferior. Apabila teori modernisasi biasanya melihat sebuah kemajuan dari jendela barat maka teori poskolonial melihat dari jendela negara timur yang di 'dominasi" barat dan untuk kedudukannya barat ialah penjajah sebagai subjek yang lebih unggul derajatnya dan timur berposisi sebagai objek, penjajah masih melakukan perampasan namun perampasan kekayaan dilakukan secara tidak terang-terangan. Teoritikus yang menganalisis fenomena dan gejala pada poskolonial yakni Edward Said dengan Orientalisme, gayatri Spivak dengan subaltern, fanon bersama ras dan identitas lalu bhaba dengan mimikrinya.

Dalam orientalisme dan bagi Said, Barat tidak akan ada tanpa timur begitu pun sebaliknya, hal ini jelas bahwa orientalisme teori yang menggambarkan hubungan dua bagian antara timur dan barat. 

Karakteristik Timur yang digambarkan kepada Barat sebagai tempat yang lebih rendah, terbelakang, irasional, tradisonal, sedangkan untuk barat digambarkan pada dunia sebagai yang unggul, rasional, dan sipil hingga derajat jelas tidak sejajar, kemudian penjajahan yang dilakukan bukan dari segi fisik namun melalui teks, bahasa, budaya, dan pembentukan citra-citra negatif tentang Timur sehingga terjadi sebuah pembiasan literatur yang dibuat oleh kaum barat terhadap negara-negara Timur. Said mengatakan bahwa orientalisme pada dasarnya sebuah doktrin politik bahwa timur lebih lemah dari Barat dan orientalisme adalah agresi, aktivitas, penilaian, kemauan untuk kebenaran, dan pengetahuan. 

Said memberikan contoh yakni karya Judith Miller Devil Theory of Islam (2000) yang membentuk pesona keburukan islam yang merupakan kerja dari orientalisme dalam upaya melebeli timur dengan hal yang buruk. Edward kemudian mengkritik bahwa tindakan ini merupakan manipulasi melalui demonisasi dan dehumanisasi yang akan membuat orang-orang timur terutama negara yang bermayoritas pemeluk Islam berposisi tidak sederajat untuk diajak berdialek dalam perdamaian dan hal ini akan membuat orang-orang Timur terpecah. Hal ini akan membuat negara yang memiliki warga pemeluk islam akan menjadi stagnan.

Contoh lain ialah buku dengan judul Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX yang ditulis oleh Bernard Dorleans yang kemudian di komentari oleh Jean Couteau karena pada bukunya pada persepsi orang-orang Prancis bahwa pribumi Indonesia dianggap primitif dan tak berbudaya. Pribumi digambarkan berperawakan cukup tinggi ada yang bertubuh sempurna dan yang lain tidak, memang tidak sehitam kulit Guinea dan hidung pun tidak sepesek mereka, berkulit kuning atau cokelat, penipu dan pembohong besar. Ini menunjukan bahwa khas sekali Barat merasa superior memandang Timur yang inferior.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline