Lihat ke Halaman Asli

SNF FEBUI

Badan Semi Otonom di FEB UI

Mengenal Tantrum: Luapan Emosi Seorang Anak

Diperbarui: 5 Desember 2022   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok: shafira

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan sendirinya. Tentunya kita akan selalu berkomunikasi dimanapun kita berada. Ketika sedang berkomunikasi, kita juga akan merasakan berbagai emosi, baik dari perkataan orang lain maupun perasaan dari dalam diri kita sendiri. Tetapi perlu diketahui, emosi tidak hanya muncul dari komunikasi, ia juga dapat dirasakan dari berbagai hal, seperti saat mendengarkan lagu, membaca, dan lain-lain.

Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat atau psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, dan kecintaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2003:298). Menurut Paul Ekman, seorang psikologis asal Amerika, terdapat 6 emosi dasar yang dialami manusia, yaitu bahagia, sedih, jijik, takut, terkejut, dan marah. Emosi dasar atau primer muncul pada masa bayi, tepatnya 6 bulan pertama. Emosi tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia ketika masa  tumbuh kembang [1].

Kondisi fisik dan psikologis anak akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Misalnya, pada usia 6 bulan, emosi primer mulai muncul. Lalu ketika usia 12-18 bulan, seorang anak mulai mengenali emosi dirinya dan sadar terhadap tingkah laku yang ia lakukan, akan tetapi perkembangan tersebut masih belum terlalu stabil. Kemudian, di usia ini juga seorang anak kenal dengan kondisi tantrum [2].

Selanjutnya, pada usia 2-3 tahun, emosi seorang anak mulai berkembang secara stabil. Seorang anak menjadi lebih independen dan cenderung teguh terhadap pendirian mereka. Di usia ini, anak menyadari bahwa eksistensi mereka nyata dan mulai belajar mengontrol emosi dari diri mereka sendiri melalui bermain. Lebih lanjut, anak usia 3 tahun juga sudah dapat mengenali kesalahan yang sebelumnya mereka lakukan dan belajar dari kesalahan tersebut [2].

Salah satu emosi yang normalnya dirasakan oleh seorang anak adalah marah. Marah merupakan jenis dari emosi primer yang sering dikaitkan dengan pengertian emosi. Menurut Maxwell Maltz, marah memiliki pengertian sebagai suatu jenis frustasi yang meledak dimana seseorang mengubah suatu perasaan terluka yang pasif menjadi suatu tindakan penghancuran disengaja yang aktif (Mulyono, 2005:36). Marah cenderung menyebarkan energi yang negatif yang dapat merubah suasana menjadi lebih tegang. Meskipun begitu, amarah tentunya masih dapat dikontrol oleh seseorang, dirinya sendiri. Istilah tersebut dikenal sebagai anger management.

Meski seorang anak akan lebih mengenali emosinya seiring bertambah usia, tetapi mereka tetaplah anak kecil yang belum mengerti banyak hal sehingga mengontrol emosinya pun bukanlah hal yang mudah. Emosi seorang anak dapat berubah-ubah seiring dengan mood mereka. Walaupun anak sudah mengerti dengan afeksi dan juga memberikan respon yang baik terhadapnya, bukan berarti respon mereka selalu linear dengan hal positif. Beberapa anak juga memberikan respon tantrum terhadap hal yang memancing amarahnya.

Temper tantrum merupakan emosi yang meledak-ledak yang ditujukan oleh anak ketika anak merasa lelah, lapar, ataupun sakit bahkan anak yang senantiasa di manjakan oleh orang tuanya sehingga kerap tantrum ketika keinginannya tak terpenuhi serta orang tua yang selalu mendominasi anaknya, sekali waktu anak akan bereaksi untuk menentang orang tuanya dengan perilaku tantrum [3].

Tantrum Merupakan Hal yang Normal, Tetapi Bahaya Jika Terus Dibiarkan

Kendati mengarah ke hal negatif, kondisi temper tantrum ternyata dikategorikan sebagai hal yang normal untuk anak seorang batita. Akan tetapi, jika dibiarkan secara terus menerus, kondisi tantrum dapat menjadi masalah bagi seorang anak. Hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak  tidak bisa berurusan dengan lingkungan mereka, beradaptasi dengan lingkungan baru dan kesulitan dalam memecahkan suatu masalah [4].

Kesulitan memecahkan suatu masalah merupakan hal yang serius dalam tumbuh kembang seorang anak. Jika anak dengan kondisi tantrum dibiarkan secara terus menerus, ia akan terbiasa dengan sifat yang ia miliki. Bayangkan, jika seorang anak dari balita sudah menjadi tantrum dan orang dewasa tidak memberikan peran yang efektif dalam mengedukasinya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa seiring ia dewasa, ia akan tetap memiliki sifat tersebut dan juga anger issue.

Anger issue adalah sebuah masalah yang dapat membuat seseorang menjadi lebih mudah marah, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri. Jika gangguan tersebut dibiarkan begitu saja, maka akan berpotensi menyebabkan penderitanya melakukan berbagai tindakan kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun  verbal. Tak hanya itu saja, anger issue juga dapat meretakkan hubungan sosial [5].

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline