"Bimbingan dan Konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah" (Munandir,1993).
Bimbingan dan Konseling. Suatu hal yang sering dikaitkan dengan hukuman dan tempat orang-orang "bermasalah". Seringkali, para murid cenderung menghindarinya, beralasan bahwa ruangan Bimbingan dan Konseling ibarat tempat yang sepi dan jarang peminat.
Beberapa orang memang mendapatkan privilege untuk dapat bertemu dengan guru Bimbingan dan Konseling yang selayaknya teman dan dapat menjadi wadah jika terjadi masalah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar murid masih takut untuk bercerita atau sekadar berkabar dengan guru Bimbingan dan Konseling. Lalu, siapa yang salah? Guru BK (Bimbingan dan Konseling), murid, atau justru sistem pendidikan yang ada?
Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Kebutuhan yang mendesak akan pendidikan sejak kemerdekaan hingga tahun 1960, membuat kesadaran akan pentingnya Bimbingan dan Konseling dalam sekolah-sekolah tidak luput diperbincangkan. Hal ini sebagaimana digagas dalam Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960, dengan nama awal Bimbingan dan Penyuluhan. Persiapan pertama yang dilakukan ialah dengan mempersiapkan tenaga pengajar melalui dibukanya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, yang diinisiasi oleh IKIP(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung dan IKIP(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang pada tahun 1964 [1].
Melalui proses yang panjang dan terinspirasi dari pendidikan yang ada di Amerika Serikat, pada tahun 1975, Bimbingan dan Penyuluhan (BP) resmi dimasukkan dalam kurikulum sekolah seiring dengan lahirnya kurikulum 1975. Hal ini sempat menjadi kontroversi dan menimbulkan persepsi yang negatif karena fokusnya yang cenderung bersifat represif dan sebagai "polisi". Pola yang digunakan juga masih kurang jelas, baik dasar hukum maupun pelaksanaannya.
BP sempat berganti nama menjadi Bimbingan Karir (1984) lalu pada akhirnya menjadi Bimbingan dan Konseling (1994-sekarang) seiring dengan bergantinya kurikulum yang ada [2]. Dengan Bimbingan dan Konseling(BK) yang ada sekarang, BK diharapkan bukan hanya sebagai tempat anak-anak bermasalah dan sarana memilih jurusan kuliah kedepannya. BK idealnya dapat menjadi wadah bagi murid untuk berkeluh kesah bilamana terjadi masalah, sesuai dengan 5 fungsi utama BK, yakni fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan, serta advokasi.
Puncak Permasalahan
Seiring dengan berkembangnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia, aturan-aturan serta landasan yang digunakan juga berubah-ubah. Aturan yang ada sekarang, sebagaimana tercantum dalam SK Mendikbud No 025/1995 memang diakui sudah mengandung banyak peningkatan bagi kualitas Bimbingan dan Konseling di Indonesia. Namun, dengan sistem yang ada sekarang, persepsi masyarakat masih menjadi kendala dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Dalam pelaksanaannya, guru BK masih dianggap sebagai "polisi sekolah" yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang bermasalah, baik karena terlambat, menggunakan pakaian yang tidak sesuai norma sekolah (rok/celana ketat, baju yang dikeluarkan dari rok/celana), maupun permasalahan lainnya.
Dalam praktiknya juga, masih dapat ditemukan bahwa Bimbingan dan Konseling dilakukan secara sporadik oleh guru yang tidak memiliki latar belakang Bimbingan dan Konseling [3]. Selain itu, Bimbingan dan Konseling juga masih dianggap sebagai "sampingan" dan bukan nilai utama yang menentukan dalam pencapaian akademis murid.