Saya bukan seorang professor yang mempelajari banyak teori. Saya juga belum menjadi calon Doktor yang melakukan banyak riset. Saya juga bukan pakar yang paham betul mengenai konsep pendidikan. Saya adalah salah satu orang yang sedari kecil memang sudah ikut terlibat dalam dunia pendidikan, saya adalah seorang siswa yang kini menjadi mahasiswa.
Tujuh belas tahun saya mengikuti jejak perjalanan pendidikan. Tiap tingkatannya memberikan pelajaran berbeda. Tiap tingkatanya pula banyak menimbulkan pertanyaan. Beginikah sosok yang memberikan pengajaran pada saya dan teman-teman lainnya? Beginikan orangyang menjadi panutan kami? Inikah ilmu yang harusnya kami terima?
Tidak ada niat mengesampingkan kualitas beberapa tenaga pengajar yang hebat. Tapi yang hebat itu hanya ada satu berbanding sepuluh dari tenaga pengajar yang ada. Atau bahkan disekolah hanya ada satu tenaga pengajar hebat yang merupakan tenaga pengajar. Keterlambatan tiba di sekolah, system mengajar yang hanya memberikan tugas lalu menerangkan panjang lebar, sedikit Tanya jawab, membiarkan yang bermental kecil tersudut dan melegowo murid-murid yang beruntung memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi untuk terus menunjukkan aksinya dikelas.
Pernah kah terpikir dari tenaga pengajar bahwa mereka harus lebih kreatif. Tidak bisa hanya sekedar tuliskan, baca ulang, kerjakan, koreksi. Sudah. Setiap harinya akan begitu. Kejenuhan pasti tidak bisa dielakkan. Siswa lebih memilih melentikkan jari di keypad handphone, membaca timeline jejaring social atau berada diluar kelas, belanja di kantin, bahkan main game online.
See? Siswa lebih tertarik mencari hal baru hal yang lebih menyenangkan. Kenapa tidak tenaga pengajar lebih banyak mencari cara untuk menyampaikan materi pelajaran. Apakah risetarsi untuk kenaikan golongan atau laporan mengajar terlalu menyibukkan diri sehingga tidak bisa menyuguhkan hal yang lebih menarik.
Siswa melihat tingkah laku keseharian para tenaga pengajar. Lalu lama kelamaan mereka menjadi terbiasa dengan lingkungan yang seperti itu. Memang harusnya siswa juga lebih kreatif, namun hal yang setiap harinya selama seminggu berada disekolah membuat siswa membenarkan kebiasaan, bukan malah membiasakan kebenaran. Mental yang terbentuk adalah mental penerus bangsa yang malas dan apatis sehingga menurunnya antusias untuk bersaing dalam hal pengetahuan.
Saya termasuk salah satu siswa yang terjebak kedalamnya. Saya terbiasakan meninggalkan banyak kesempatan untuk bisa berkompetisi. Hingga akhirnya kini, ketika saya melihat beberapa golongan siswa yang antusias berkompetisi saya mereasakan penyesalan yang amat mendalam. Namun masih disayangkan, kebanyakan tenaga pengajar hanya bisa mengeksplore sedikit siswa dari ratusan siswa yang mereka punya. Tenaga pengajar seolah tidak punya waktu dan cara agar setiap siswa yang memiliki kemauan dan mental berbeda untuk menunjukkan kebisaan mereka.
Siswa lainnya bukan tidak bisa, hanya mereka belum mampu untuk menunjukkannya, seandainya saja tenaga pengajar dapat melakukan itu, bisa dibayangkan dengan jumlah populasi penduduk kita yang ratusan juta bisa dikirim ke berbagai belahan dunia untuk ikut berkompetisi dan membawa nama Indonesia. Ah, semakin harum nama bangsa kita dimata internasioanal.
Saya pernah mengikuti pelatihan guru oleh Ibu Wei Lin di Kabupaten Bengkalis beberapa bulan yang lalu. Saya hanya beruntung untuk bisa menjadi panitia dan melihat langsung kegiatan education sharing tersebut. Ibu Wei lin menempatkan para tenaga pangajar sebagai siswa dan beliau sebagai guru. Beliau menyampaikan perhitungan matematika dengan bantuan alat visual. Seperti menggambar persegi, segitiga dari kertas bewarna lalu menempelkannya di papan tulis dan menuliskan rumusnya.
Dalam mempelajari bahasa Indonesia ibu Wei menempelkan puluhan kata-kata di dinding kelas dan melemparkan pertanyaan pada tenaga pengajar untuk mencari kata-kata yang merupakan kalimat baku dan tidak. Saya yang berada disana merasakan antusias yang besar dari tenaga pengajar untuk mengikuti kelas Ibu Wei selama dua hari penuh. Tidak ada satupun dari tenaga pengajar yang tidak menyunggingkan senyuman dan gelak tawa ketika belajar.
Satu hal yang paling saya ingat adalah ketika Ibu Wei mengajarkan cara melemparkan pertanyaan kepada siswa. Beliau terus memancing keberaniaan beberapa tenaga pengajar yang entah tidak berani mengacungkan tangan atau enggan, untuk ikut mengacungkan tangan. Beliau terus mengulangi hal ini di tiap pelajaran yang disampaikan.
Beliau tidak melulu memilih ‘siswa’ yang aktif, beliau memilih siswa yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan ‘memaksa’ siswa tersebut untuk berani bicara didepan umum, menyuarakan pikirannya. Dan yang membuat saya tambah takjub adalah setelah itu hamper semua sangat berantusias unutk berntaya dan menjawab pertanyaan. Ibu Wei mengajar sembari meliihat aspek psikologis dari siswanya dan memberikan kesempatan untuk yang benar-benar butuh perhatian dari beliau. Ah, seandainya semua tenaga pengajar mau meluangkan waktu untuk letih menyiapkan hal kreatif dan memperhatikan siswanya. Jadi tugas tenaga pengajar itu sebenarnya sangat tidak mudah. Mereka banyak mengemban beban tanggung jawab dalam membentuk karakter penerus bangsa. Kept Fight!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H