Lihat ke Halaman Asli

Terdamparku di Chentingsari

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rasanya pandanganku semua kelabu. Tidak bercorak atau berbentuk. Hanya keperihan hati yang mengalir bergelombang beriringan dengan ombak tinggi. Hatiku hanyut mengingat perpisahanku dengan calon suamiku. Dia pergi dariku tuk seorang wanita lain. Wanita yang ternayata tunangannya. Lelaki memang brengsek!! Lalu buat apa diriku selama ini berhubungan manis dengan dia. Apakah aku hanya menjadi sebuah boneka saja untuknya. Aku terkapar. Pikiranku kalut. Aku terus berjalan menuju suatu desa yang akan kutujuh “Camplon Desa”, lebih baik aku menyetujui untuk meniliti desa ini daripada bermuram durja.

Ya, aku berjalan terus hingga aku sampai di suatu negeri antah berantah. Aku melihat sekelilingku, Indahhh. Apakah ini Desa Camplon? Rasanya menurut data-data yang kuterima desa ini gersang, tapi mengapa negeri ini Indah. Aku melihat sekali lagi sekelilingku, ada sungai yang mengalir jernih dan ada anak-anak sedang bercanda sambil bermain. Mereka bermain air sambil menyanyikan lagu Cublak-cublak suweng.

“Ssstt ada perempuan dewasa..Hi..hi..hi..,” seru Hendra kepada temannya sambil meringgis tertawa.

“Hi..hi..hi…enak dilihatnya,” tambah Gugun.

“Kita samperin yukkk..kenalan gituuuu…”ujar Sigit.

“Dasarrr bocah gatellll..” kata Ngashim.

"Tapi kalo kita kerjaiin gimana?" tanya Jenni.

mereka saling bertatap.

hmmmmm gimana jadi ngerjain ga ??” kata Hendra usil.
“iya nih mumpung pak ustad mumu belum pulang…” sahut Ngashim.
“tapi nek liat dari wajahnya aku malah kasihan je melas nemen koyo wong ilang kae…” kata si Jenni iba.
“yo wes lah sesuk-sesuk ae le ngerjain, sekarang mending ditolongin tu, makin ketekuk aja wajahnya kek orang ilang.”

Akhirnya ke lima anak itu pergi mendekati sosok wanita berwajah sedih yang tampak kebingungan.

Kucluk-kucluk..mereka berjalan jingkat-jingkat. Sari terkejut melihat anak-anak yang menghampirinya.

“Hai..Selamat Sore Tante..” serempak mereka berlima.

“Eh, hai…hem..” bingung Sari dengan kelakuan mereka tapi mereka koq lucu-lucu yah..

“Kenalkan nama saya……” semuanya berbicara dan menjulurkan tangan mereka masing-masing pada Sari.

“Ha..ha..ha…” aku tertawa geli. Yang tadinya kebingungan karena tersesat. Koq malah damai yah berada di dekat mereka.

“Saya mau Tanya ini desa apa yah?” tanyaku.

“Ini chentingsari, tante,” Dengan mimic Gugun yang sok manis.

“kalo Desa Camplon dimana ya?” tanyaku lagi.

“Gak tahuuu…..” jawab mereka serentak kompak sambil menggelengkan kepala dan pastinya dengan muka polos. Polos?...”aku suka kepolosan,” kataku dalam hati.

“Nama tante sapa?..nyasar ya?..hehehe..” ucap Hendra.

“Nama saya Sari. Ya sepertinya begitu..nyasarrrr…hehehehe…”

“Gimana kalo Tante ke sekolah kita saja, di situ banyak orang-orang yang mungkin bisa membantu Tante. Kita sekalian juga mau latihan nyanyi di sana..” kata NGashim.

“Hemm..Boleh…”..

Aku berjalan diiringi mereka hingga tiba di sebuah sekolah. Sekolah yang sangat sederhana.

Mereka berlima langsung menghambur ke dalam ruangan kelas, tempat untuk latihan music.

Di sana aku melihat seorang pria sedang bermain gamelan dengan irama Cuplak-cuplak Suweng…BOcah-bocaj itupun langsung bernyanyi renyah…

Tiba-tiba hatiku bergetar. Bergetar mendengar suara dentingan gamelan tersebut dan entah mengapa tubuhku jadi merinding mendengarkan kolaborasi mereka. Dan aku menangis. Aku semakin menangis melihat kelima anak-anak itu. Mereka seperti impianku. Impianku dimana suatu saat nanti aku akan punya lima anak. Tapi tanpa laki-laki…

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline