Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Aku Mencintainya dan Dia #21

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepanikan Sarah terdengar jelas

Kemudian gelap…

Putih terang yang menyapaku sebagai sebuah ruang, disebelahku berdiri angkuh dengan segala ironinya seakan mengejekku dengan cairan-cairan infus yang mengalir menuju nadiku, aku terbangun dirumah sakit tanpa sepenuhnya paham apa yang sebenarnya telah terjadi, berat memenuhi leherku untuk bergerak melihat seluruh sudut ruang ini dan aku hanya bisa melirik seorang wanita yang tertidur didekat kakiku.

Badan serasa tidak mau akur denganku saat ini, lemas berada tepat disekujur tubuhku, sakit apa sebenarnya aku ini, apa hanya kelelahan saja, meskipun bertanya demikian aku tidak menemukan jawabannya saat ini dan aku hanya mencoba untuk tetap terjaga.

Sarah terbangun memperhatikanku yang menatap kosong langit-langit ruangan ini, “mas sudah bangun, Alhamdulillah…”, Sarah bersyukur benar atas terbukanya mataku mendengarnya berkata demikian buru-buru mengingatkanku dengan apa yang sebenarnya telah aku alami adalah sebuah pendekatan diriku pada Tuhanku, banyak doa mungkin yang telah sekitarku bacakan untuk memintaku kembali, kemudian aku melirik wajah Sarah yang berseri dan berbisik dalam hati,”Alhamdulillah….”

Aku tak terus mencoba mencari tahu apa yang telah membuatku berada ditempat ini dalam keadaan yang seperti ini, aku hanya mencoba mencari tahu dengan apa sebaiknya aku bersyukur atas kenikmatan hidup yang Tuhan berikan padaku, dalam keadaan yang lemas seperti ini semua terlihat jelas bahwa aku bukanlah apa-apa dan tak pernah sedikitpun sempurna.

“mas pusing?”, tanya Sarah.

“sepertinya tidak Dik…”, jawabku singkat.

“mas rubuh dipernikahan Siti”

Aku diam mencoba mereka yang telah terjadi sebelum aku sampai di tempat ini.

“mas …” , tersirat gundah pada wajah Sarah seperti hendak mengatakan sesuatu yang sebenarya tidak mau ia katakan.

“iya dik…”, aku penasaran dengan kalimat yang hendak Sarah sampaikan padaku.

Agak lama Sarah diam, kemudian berkata,”tidak ada apa-apa mas…saya hanya kawatir dengan kondisi mas sekarang”

Aku tersenyum,”tidak apa-apa kok Dik, besok juga mas akan baikan”

“iya mas amin, mudah-mudahan mas cepet sehat kembali..”, doa sarah sambil merekahkan senyum dibibirnya.

dan sebuah doa yang tulus menyapaku lembut pagi ini, ini hanya sepenggal doa yang aku dengar langsung dan pasti ada ribuan doa lainnya yang tak pernah aku dengar

semua pasti berjalan dan terkadang berlari, waktupun takkan membiarkan dirinya menunggu kita siap untuk semua keadaan yang mungkin bukanlah yang kita inginkan dan semuanya pasti memiliki titik lelah dimana kita harus berhenti dan memandang sekeliling, belajar menerima sebuah kenyataan dan mulai lagi belajar bersyukur untuk semua yang telah kita punya, karena kita manusia, karena kita sangat suka lupa.

Aku masih berbaring disini, mungkin ini titik pemberhentianku tempatku mulai lagi belajar berucap rasa syukur, semua kenyataan ini tergambar jelas dalam mataku meski aku tidak tahu apa maksud dari semua ini, aku mengakuinya dalam sebuah pemikiran satu tingkat lebih jelas dari apa yang aku rasakan dalam hati, aku menginginkan Siti meskipun telah ada bidadari disampingku, apa maksudnya hati aku tidak tahu, hanya sebuah perasaan aneh yang kerap muncul ditengah kemanjaan yang aku dapat dari seorang Sarah, kenikmatan ini menjadikan sebuah ruang kosong yang benar-benar kosong,bahkan aku sulit merasakan cemburu, rasa jengkel atau curiga, ruang kosong itu tercipta atas kesetiaan seorang Sarah padaku, semua berjalan monoton setiap harinya, ada kebahagiaan yang tak menggiringku kedalam sebuah sangkar sempit yang hanya muat untukku dan Sarah, Sarah terlalu baik pun terasa salah untukku sepertinya dan dari itu aku akui aku manusia yang sangat senang melupakan perkiraan rasa sakit yang aka nada jika Sarah meninggalkanku.

Aku mulai belajar untuk bersyukur semestinya sebelum semua ini menjadi sebuah jalan kehancuran bagiku, mestinya dengan menikahnya Siti aku dapat lebih focus menjalani kebahagiaan ini dengan ruang sempit dekapan Sarah saja, mestinya aku benar-benar menyapa rasa sakit itu,mestinya aku benar-benar merasakan kehilangan itu, mestinya aku mengenal lebih dekat arti kata terimakasih. Kenyataannya aku cemburu dengan pernikahan Siti.

Belajar kehilangan mungkin lebih baik dari pada belajar menahan rasa sakit atas kehilangan, ketika aku harus belajar mencintai Siti karena Sarah yang menginginkannya pada saat itu juga aku menahan rasa ini agar tidak jatuh cinta lagi kepada Siti, namun caraku menahan rasa itu malah semakin membuatku tak henti memikirkannya, dan mungkin juga ini yang membuat keresahan-keresahan ini mulai jelas jika aku mulai menyayangi Siti. Dan sikap seperti itu yang membuat Sarah sedikit menjauh, tanpa meninggalkan jejak perginya namun sepertinya itu membuatnya sedikit berlebih memanjakanku dan aku risih juga paham akan cara yang dipilihnya untuk menjauh.

Aku harus berhenti terjebak disini, berhenti memainkan ruang-ruang kosong untuk sebuah ruang dekap yang baru, ruang dekap dari seseorang cantik yang lain. Aku memikirkan hal ini terdiam menatap bisu langit-langit yang tak biru, dinding diam tak pantulkan detak hanya kerinduan yang menjadi pada Sarah mulai merekah, tak lama ia pergi dari ruang ini namun hangatnya telah habis terhisap suasana hati yang dipenuhi kebodohan-kebodohan dalam menafsirkan perasaan.

Aku tak perlu memilih untuk ini karena sudah tentu Sarah yang menjadi sebuah pilihan bagiku, sebuah pilihan jalan untuk hidup yang terkadang tak berikan kita sebuah pilihan, aku hanya sebuah kerapuhan yang mencoba menutupi itu semua, aku hanya bersembunyi dibalik segala kegalauan yang menjelma sebuah serangan terhadap ragaku, inilah saaatnya aku menikmati rasa lelah dan aku memang harus berhenti dan mulai lagi belajar tentang rasa bersyukur.

“Assalamualaikum….”

Aku menoleh kepintu, suara ini menyingkirkan sepi yang baru saja menemaniku menilai diri.

“waalaikumsalam”

…..”walaikumsalam”, aku mengeraskan suaraku, ternyata untuk berbicarapun aku masih sangat lemas.

Siti masuk diikuti Sarah dan seorang laki-laki,suaminya.

“hai bro….”,sapa laki-laki itu santai dan aku membalasnya dengan senyuman.

Sarah memberi mereka kursi, mereka bertiga duduk tak jauh dari tempatku berbaring.

“iya ini mas kecapekan kemarin….”ujar Sarah membuka pembicaraan.

Laki-laki itu berdiri kemudian berjalan mendekatiku, memandangiku sejenak kemudian menjulurkan tangannya padaku,mengajak bersalaman, aku sambut tangannya dan mencoba tetap tenang

“apa kabar?”, ujarnya sambil mengayun-ayunkan tanganku.

“baik”, jawabku.

Ternyata benar dialah yang menjadi suami Siti…..

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline