Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Aku Mencintanya dan Dia #19

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap mata sarah yang berbinar ditengah keremangan, Sarah tersenyum lalu bertanya “sesayang apa mas?”

“Sesayang hutan pada hujan…..”, jawabku….

………

Suatu pagi….

Pagi menyambutku dengan indah menyapaku dengan sebuah kehangatan hati yang mesra, Sarah masih tertidur disebelahku, wajahnya yang damai membawakanku sebuah ketenangan yang bahagia. Aku menatap wajahnya, memperhatikan lekukan wajahnya yang manis aku ingin membelai wajahnya itu sangat namun kuurungkan saja karena mungkin akan membangunkan dari tidurnya.

Kelelahan hatinya menatapku dan aku mencoba memahaminya, pejaman matanya mengajariku tentang semua kelelahan yang ia rasakan atas semua masalah yang bertubi menyapa kami dalam keluarga ini. Aku hanya kurang mengerti apa yang tidak pernah aku mengerti dan yang seharusnya aku mengerti, karena bukan hal bijak jika aku serahkan pada hujan untuk melarutkan segala gundah yang ada, namun aku juga tak terlalu pandai untuk menerka, aku bertanya maka salahlah aku sepertinya.

Wajah itu menenangkan namun memaksaku untuk berfikir lebih keras untuk menjaga senyuman itu tetap ada diwajahnya. Ada hal yang ternyata tidak bisa ditanyakan dan sekarang aku mencoba bertanya tentang hal itu pada wajah yang pulas tertidur dengan bisikan pelan yang pasti ia tak mendengarnya.

Matahari masih belum terjaga, sunyinya malam masih tersisa pada detik ini, keremangan yang mendekatkanku pada Sarah aku nikmati baik-baik, aku harap ia tak terjaga meyakinkannya untuk membangunkanku nanti saat pagi benar-benar mendarat dibumi tempatku memejamkan mata lagi.

Sekali lagi aku menatap wajahnya…

Cantik…

….

“mas ….mas bangun…”, sayup-sayup suara Sarah membangunkanku.

Tangannya yang halus membelai pipiku pelan, aku mencoba tak mendengarkannya sedikit menggodanya mungkin akan menghibur.

“mas….mas” , Sarah masih mencoba membangunkanku namun kali ini sarah mulai menepuk bahuku pelan. Sampai akhirnya aku tersenyum tak bisa lagi menahan senyuman yang aku sembunyikan, Sarah menarik hidungku kemudian turun dari kasur tanpa sempat aku membalasnya dengan pelukan.

Di meja makan…

Semuanya kembali harus diluruskan…

“mas ini….”, tanya Sarah sambil menghadirkan undangan sunyi pernikahan Siti.

“iya… itu undangan pernikahan Siti”, aku menjelaskan hal yang sudah jelas.

Sarah terdiam memperhatikan barisan kata yang ada pada undangan itu.

“jadi kemarin Siti kemari hanya untuk mengantarkan undangan itu, hanya saja sesuatu yang janggal membuatku mengejarnya…”, aku menghela nafas, sesaknya dada mulai terasa saat ini. Sarah masih terdiam keheningan perlahan memenuhi meja makan ini.

Sarah membolak-balik undangan itu, melihatku kemudian tersenyum, “masih bagusan undangan kita dulu ya mas…”

Aku menatapnya penuh pertanyaan…”kenapa mas?” tanya Sarah kemudian.

“aku hanya heran kenapa secepat itu…” jawabku.

“jadi hal itu yang sangat ingin mas tanyakan pada Siti waktu itu…?”

Aku mengangguk pelan, memperhatikan kembali susunan kalimatku tadi mencari kesalahan yang secepatnya dapat aku jelaskan.

“bukannya hari ini ya acaranya” tanya Sarah lagi

“mungkin”, jawabku singkat karena memang aku tidak memperhatikan undangan itu.

“ayo mas kita siap-siap”

“kemana?”

“Siti…”

“maaf dik , sepertinya mas tidak pernah berniat untuk datang ke acara itu…”, kataku pelan sambil menyeruput teh hangat yang Sarah buatkan untukku.

“kenapa…?” tanya Sarah cepat.

…di meja makan semua harus diluruskan namun sepertinya keheningan benar-benar akan memenuhi ruangan ini...

bersambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline