Lihat ke Halaman Asli

Ade Ismatillah Nuad

Peneliti Lepas dan Writerpreneur

Bolehkah Memilih Pemimpin Non Muslim?

Diperbarui: 11 April 2016   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu boleh tidaknya memilih pemimpin non muslim mencuat dalam konteks Pilkada DKI Jakarta khususnya. Masyarakat muslim di Jakarta sekarang ini menginginkan suatu preferensi dan referensi politik mengenai boleh tidaknya memilih pemimpin non muslim. Apalagi, saat ini santer muncul sebuah pernyataan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan berbunyi “lebih baik memilih pemimpin non muslim tapi bersih, daripada memilih pemimpin muslim tapi korup”.

Pernyataan itu sungguh sebuah pernyataan yang tidak memiliki dasar dan sangat menyesatkan. Sebab, jika memang ada seorang pemimpin muslim korup, maka yang salah adalah individunya, bukan agamanya.

Tapi perlu juga diingat, korupsi itu kejahatan. Jika pun ada seorang pemimpin muslim yang korup, maka sebetulnya dia pun dirundung oleh rasa takut yang luar biasa. Praktik melakukan korupsi bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi dikategorikan sebagai extra ordinary crimes.

Jika ada pemimpin muslim melakukan tindakan korupsi, maka yang disalahkan adalah individunya, bukan agamanya. Karena dia menuruti nafsu untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri. Ini hampir mirip jika ada polisi atau tentara yang berbuat korupsi atau kejahatan, apakah kita secara semena-mena menyalahkan institusinya? Pejabat Polri atau TNI pasti langsung bicara bahwa itu semata-mata kesalahan oknum individu, bukan institusinya.

Coba kita lihat AD ART Kepolisian atau TNI, pasti sangat agung dan tak ada satu pun celah atau titik yang salah. Karenanya, jika ada kesalahan maka yang dituding adalah oknum individu, bukan institusi. Begitu pula dengan Islam, yang merupakan ajaran agung serta merupakan agama rahmat bagi seluruh alam, jika ada pemimpin muslim korup, kesalahan bukan terletak pada agamanya, melainkan individunya.

Selama ini ada sebuah argumen bahwa di alam Pancasila, semua orang bisa menjadi pemimpin termasuk non muslim. Karena ini adalah negara Pancasila, negara yang terbuka. Asal WNI, di negara Pancasila, maka dia memiliki hak mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin. Sepintas pernyataan ini benar, namun argumen ini sebetulnya ada kelanjutannya.

Kelanjutannya adalah, karena ideologi Pancasila bukan lah ideologi yang kosong makna, Pancasila dan NKRI bukan lah barang gratis. Untuk mendirikan NKRI dan Pancasila sebagai ideologi bangsa memerlukan pengorbanan, dengan doa, darah dan air mata, serta nyawa para syuhada. Betapa besar pengorbanan umat Islam untuk mengusir penjajahan Belanda, termasuk di tanah Betawi, “tanahnya para Habaib” yang mendakwahkan Islam jauh sebelum bangsa ini merdeka.

Kita pun tentu masih ingat folklore Si Pitung, H Naipin, Si Jiih, Fatahillah atau Pangeran Jayakarta, Habib Luar Batang, dan kisah heroik pahlawan di tanah Betawi lainnya, sebuah kisah rakyat yang mencerminkan perjuangan dan pengorbanan untuk mengusir penjajahan Belanda. Sebuah kisah heroisme yang berangkat dari tanah Betawi, pesantren, santri dan ulama. Narasi sejarah seperti ini mungkin orang sudah lupa, padahal narasi sejarah itulah yang membentuk NKRI dan ideologi Pancasila yang kemudian dikumandangkan Bung Karno.

Selama ini masyarakat hanya tau berdasar di media, bahwa ada pemimpin non muslim yang jujur, berani dan banyak melakukan perubahan. Namun, apakah pemberitaan di media itu sepenuhnya benar? Jawabannya tidak juga! Apakah kejujuran, keberanian, dan sebagainya itu murni ataukah ada embel-embel, supaya dipercaya untuk memimpin yang kelasnya lebih tinggi lagi, misalnya, supaya jadi Presiden. Jadi jika demikian, maka kejujuran, keberanian dan lain-lainnya hanyalah klise atau tidak murni, melainkan batu loncatan politik supaya bisa step ke tingkatan atau kelas yang lebih tinggi. Jujur dan berani supaya dapat pamor dan pencitraan, jika seperti itu buat apa, bahkan ada kesan membohongi publik!

Apa konsekuensi jika non muslim memimpin Jakarta? Begini, Jakarta itu dihuni 10 juta jiwa dan diperkirakan sekitar 85 persen lebih menganut agama Islam. Pertanyaannya, tidak adakah satu orang saja yang bisa menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah, bersih, pemberani dan bertanggung jawab? Jawabnya jujur saja masih kelebihan stok!

Banyak yang luput dari perhatian di masyarakat, bahwa jelas akan ada konsekuensi-konsekuensi logis jika seorang pemimpin non muslim memimpin Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline