Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Merapi 2010

Diperbarui: 26 Oktober 2015   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tepat 5 tahun yang lalu, yaitu pada tanggal 26 Oktober 2010 terjadi erupsi dari Gunung Merapi. Erupsi pada tahun itu merupakan salah satu erupsi yang besar dan banyak menimbulkan korban, baik itu korban harta maupun korban jiwa. Beberapa daerah yang mengalami dampak yang buruk adalah di Sleman tepatnya di Cangkringan. Namun soal hujan abu dan pasir lebih cenderung ke arah Magelang. Dan pada hari itu juga sang Penjaga Merapi yaitu Mbah Marijan menghembuskan nafas terakhir  akibat erupsi itu. Beliau meninggal dalam keadaan yang mulia karena beliau meninggal dalam posisi bersujud. Selain itu beberapa warga yang ada di kampungnya beliau harus meregang nyawa karena tidak mengindahkan himbauan tim sar untuk mengungsi. 

Masih teringat suasana pada hari itu, suasana begitu panas, suara gemuruh sering terdengar dari daerah Merapi. Waktu itu aku masih duduk di kelas 8 di salah satu SMP negeri di magelang. Rumah ku berada di Magelang, tepatnya di kecamatan salam. meskipun lumayan jauh dari puncak Gunung Merapi, namun dampaknya juga sangat terasa. Dampak yang paling terasa adalah hujan abu dan banjir lahar dingin. Kebetulan rumah ku dekat dengan Kali putih. Namun beruntung rumahku tidak terkena dampak langsung dari banjir lahar dingin.

kemudian pada tanggal 28 Oktober kakak perempuanku melahirkan seorang bayi laki laki. Di tengah kondisi yang kurang kondusif, dia harus melahirkan di salah satu klinik bersalin di kecamatan salam. Namun tepat seminngu kemudian pada tanggal 4 November 2010 kamis malam atau malam jumat, letusan terhebat merapi terjadi. Pada malam itu suasana sangat mencekam. Jalsn utama Jogja-Magelang sangat sesak oleh banyak manusia yang ingin mengungsi. Banyak dari mereka yang mengungsi memakai truk, mobil bak terbuka, maupun kendaraan pribadi. segala barang barang yang berharga mereka bawa. Suasana tambah mencekam karena listrik dipadamkan oleh PLN, hujan abu berubah menjadi hujan pasir dan kerikil. Banyak polisi, tim sar, dan tentara yang membantu proses evakuasi dari para korban. Pohon pohon mulai bertumbangan karena tak mampu menhan beratnya pasir dan bau belerang. 

Malam itu warga di dusun ku berkumpul, bersiap untuk melkukan evakuasi ketempat yang lebih aman. Setelah habis maghrib lalu langsung naik ke truk untuk mengungsi. evakuasi diutamakan untuk para perempuan dan anak anak. Sedangkan untuk para pria dan pemuda desa tetap tinggal untuk mengamankan keadaan dan barang berharga yang ditinggal. Bnayak dari warga yang masih meninggalkan rumahnya dalam keadaan pintu tak di kunci. Mungkin karena mereka terlalu panik sehingga tak sempat mengunci pintu.

Esok pagi kemudian, banyak warga yang pulang untuk melihat kondisi rumah. Namun begitu kagetnya dan sedihnya, karena jalan menuju dusun tertutupi oleh ranting dan pohon yang bertumbangan, apalagi keadaan pagi itu hujan air dicampur pasir, sehingga beban yang ditanggung pohon semakin besar, sehingga tak heran jika banyak pohon yang tumbang. Setelah melewati dan menerobos jalan, akhirnya sampai juga di depan rumah. Aneh rasanya karena rumah tampak begitu kotor, dan ketika masu ke dalam sugguh terkejut karena banyak sekali gundukan pasir bercampur air. Ternyata pair bercampur pasir teah masuk ke rumah melewati celah celah genting. kemudian melihat kebelakang rumah,ternyata ikan yang ada di kolam juga mati.

Belum sempat untuk bersih bersih rumah, kami sekampung sepakat untuk melakukan kerja bakti membersihkan jalan. Diharapkan dengan terbukanya jalan bantuan yang ada bisa disalurkan dengan cepat. Sementara itu sebagian warga yang lain yang punya anak kecil atau bayi masih menetap di tempat pengungsian di Lapangan Tembak magelang. Karena belum memungkinkan kembali ke rumah karena kondisi masih parah. Selain itu juga masih sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari hari. 

Beberapa minggu kemudian semmua warga sudah kembali, namun bencana masih menghantui kami. Yaitu banjir lahar dingin Merapi. Ya kampung kami terletak tidak jauh dari Kali putih yang mempunyai hulu di Gunung Merapi. Di akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi banjir yang besar. Bahkan pernah banjir itu memotong jalan utama Jogja-magelang hingga sempat ditutup sekitar seminggu. Karena pasir yang menutupi jalan ini sampai setinggi sekitar 5 meter lebih. Selain itu juga ada kampung sebelah kami yang hampir rata karena banjir. Banyak juga rumah yang hilang terseret banjir. Tida hanya terendam banjir. rumah kakak perempuan ku juga hilang terseret banjir. Namun yang paling penting adalah tidak ada korban jiwa dari keluarga dan dusun ku. selain itu juga ada kuburan cina yang tergerus banjir dan peti jenazahnya terbawa banjir.

Tentu dibalik sebuah musibah pasti ada hikmahnya. Sekarang semua sudah kembali normal seperti dahulu. Sekarang banyak warga yang bekerja sebagai penambang pasir, namun sayang sekarang pasir disini sudah mulai langka dan harganya mlai mahal. Selain itu pemda juga melarang penambangan pasir di sekitar sungai karena dianggap merusak lingkungan. Mungkin benar juga, namun warga juga membutuhan  tambahan ekonomi supaya asap dapur tetap mengepul. Untuk itu diharapkan kepada gubernur Jateng memikirkan para penambang pasir yang mayoritas mereka adalah korban erupsi tahun 2010. Jangan cuma melarang tapi ada solusi yang jelas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline