Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Mansyur

Akademisi dan Praktisi

Modifikasi atau Inovasi Kemendikbud?

Diperbarui: 9 November 2019   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lima tahun berpisah, kini disatukan kembali. Hal ini terjadi pada Kementerian Pendidikan dan kebudayaan yang kembali memegang hak penuh atau kekuasaan atas pendidikan tinggi (DIKTI), yang sebelumnya berada dibawah kementerian RISTEK-DIKTI. 

Seperti yang diketahui bahwa Kementerian Ristek-dikti kini berubah menjadi Kementerian Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional yang kini tidak mengurusi tentang kampus lagi, dan hanya berfokus pada riset dan pengembangan. 

Pemisahan kedua jenjang pendidikan tersebut awalnya dilakukan untuk mendukung pengalokasian dana agar lebih terkelola dengan baik, kini dengan alasan yang sama kedua tingkat pendidikan tersebut disatukan kembali.

Kembali hadirnya kampus kedalam Kemendikbud dengan Menteri baru Nadiem Makarim yang seperti diketahui memiliki pendidikan yang baik dari kampus terbaik diluar negeri, namun sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bidang mengelola pendidikan.

Ini adalah dua hal yang berbeda. Apalagi harus menjadi penanggung jawab utama masalah pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sampai saat ini belum merata, dari data UNESCO pada tahun 2013 melalui publikasinya Indonesia berada di peringkat 121 dari 185 Negara. Suara-suara pesimistis atas menteri baru ini mulai dibawa oleh angin diseluruh penjuru Indonesia.  

Mari kita melihat data-data statistik pendidikan pada tahun 2017 mengenai potret pendidikan di Indonesia, yang pertama adalah angka putus sekolah menurut daerah tempat tinggal, jenis kelamin dan jenjang pendidikan pada tahun 2017. 

Di perdesaan pada jenjang pendidikan SMA/Sederajat angka putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi adalah sebesar 4,29% dan diperkotaan 2,65%, sehingga dapat diidentifikasi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi kemungkinan anak yang tidak bersekolah, sementara itu persentase anak laki-laki yang tidak bersekolah lebih besar dibandingkan dengan perempuan. 

Data kedua, adalah persentase anak tidak bersekolah menurut daerah tempat tinggal, sebesar 33,91% di daerah perdesaan dan 23,75% di perkotaan yang merujuk pada kelompok umur 16-18 tahun, seperti yang diketahui rentang umur tersebut adalah usia sekolah pada jenjang pendidikan SMA/Sederajat. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu indikator seseorang tidak melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi adalah karena masalah ekonomi. Semakin paradoks bahwa pada kenyataannya, wajib pendidikan 12 tahun seperti tidak terlihat efeknya karena masih ada anak tidak bersekolah hingga kelompok umur SMA/Sederajat. 

Masih banyak data-data lain yang belum dapat disampaikan, namun secara keseluruhan potret pendidikan di Indonesia masih banyak mengalami kendala, terutama perihal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Penyatuan kembali keseluruhan jenjang pendidikan pada Kementerian yang sama memang tidak menimbulkan kendala teknis secara khusus, kemungkinan hanya ada banyak perubahan-perubahan nomenklatur yang harus dilakukan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline