Lihat ke Halaman Asli

Mengerti-Rasa Beragama

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam suatu dialog ngalor-ngidul ndak jelas juntrungannya, antara seorang yang mengaku beragama dengan orang lain yang mengaku beriman, terlontar dua statemen yang terkesan berlawanan tentang bagaimana seharusnya beragama.

Orang yangmengaku beriman, atau lebih gampangnya disebut Imanis mengatakan, beragama itu bukanlah soal mengerti atau tidak mengerti, tapi beragama itu adalah soal “rasa” – Beragama itu soal bagaimana saya dapat merasakan nikmatnya berhubungan dengan Sang-Ilahi; bagaimana saya dapat merendahkan diri, hening dan menikmati mujizat Tuhan yang bekerja dalam hidup. Berbeda dengan Imanis, menurut orang yang mengaku beragama, untuk lebih mudahnya kita namakan Agamis saja – beragama itu tak melulu soal “rasa”, tapi juga soal “mengerti” apa yang dipercayai. Beragama juga soal bagaimana kita mempertanggungjawabkan apa yang dimengerti, itu lho...!!!  Ah... lagi-lagi muncul dikotomi yang sebenarnya tidak perlu disaling-silangkan.  Mau pilih A ya silahkan! atau ingin pilih B ya monggo saja!

Betul..perbedaan pandang tentang  bagaimana beragama memang bukan hal baru. Persoalan seperti ini juga bukan hanya konsumsi mereka yang getol belajar perbandingan agama. Siapa saja dipersilahken punya konsep sendiri soal beragama.  Benarkah agama itu soal “rasa”? Bisa jadi jawabnya adalah Ya, sebab beragama tanpa “rasa” kok ndak ada nikmatnya beragama. Tanpa “rasa”, beragama ibarat sayur tanpa garam (hambar). Tanpa “rasa”, beragama sepertinya kok lebih mirip orang memandang hidangan yang sangat lezat di depan matanya – yang membuat liurnya meleleh – tapi tak sekalipun pernah memegang, apalagi menikmati.

Tapi, benarkah beragama itu hanya soal “rasa”? Mmm...jika beragama hanya melulu soal “rasa”, apa ndak ada tuntutan sama sekali untuk “mengerti” apa yang dirasai? Apa orang ndak pingin atau ndak butuh mengerti apa yang diimani? Nyatanya beragama juga bukan seperti memegang suatu benda atau alat, tapi tak tahu-menahu tentang alat apa yang sedang dipegang. Beragama sepertinya juga tidak sekedar tahu benda atau alat apa yang sedang dipegang, tapi juga mengerti apa manfaat, dari mana berasal, dan bagaimana menggunakan alat itu. Jadi mungkin saja beragama itu juga soal mempertanggungjawabkan apa yang dihidupi dan dipercayai.

Terlalu ekstrim pada satu sisi, lalu menafikan yang lain, rasanya kok juga kurang afdol.  Misalnya saja melulu berbincang dan bergulat dengan “rasa”, acapkali hanya terfokus pada diri dengan pengalaman pribadi saat intim dengan Sang Khalik.  Parahnya lagi semakin dalam memiliki pengalaman pribadi dengan Sang Khalik, lha kok malah semakin individualis, hanya memikirkan diri, lupa dengan dunia, bahkan ada kecenderungan justru menjauh dari dunia.Wah kalau sudah begini kan sayang, anak tetangga jadi ndak bisa melihat buah-buah segar yang biasa mateng, siap untuk dicolong lagi he he he..Maksud saya ekspresi keberimanannya kok malah jadi mungkret (mengecil), jangankan untuk nyolong (baca, menikmati) buahnya, melihat satu pun bunga bakal buah juga susah.

Selanjutnya coba menilik si Agamis yang super ekstrim mengagungkan soal “mengerti”. Orang yang sering mengklaim tahu précis apa yang dia imani, atau yang merasa sudah bertanggungjawab terhadap yang diimani, tentu hal yang sangat baik, bahkan patut diteladani.Lah ini kan baguslha wong berimannya kan bukan iman yang buta, bukan hanya asal-asalan percaya saja, tapi juga memahami apa yang diimani, gitu lho…!!!!Tapi terlalu percaya diri menganggap sudah mengerti tentang apa yang diimani, kok sepertinya terkesan jumawa ya..Berkutat pada pengertian dan mengerti seringkali juga terjebak dengan tuntutan pengajaran dan klaim subyektif doktrin yang dianut.Aktifitasnya hanya menyelidiki kitab suci, mencari yang baik dan buruk, suci-najis, halal-haram,benar dan salah saja. Hingga lagi-lagi ranah sosial pun terlupakan.

Ternyata kebanggaan pada pengertian dan tuntuta doktrin yang dianut acapkali tak sejalan dengan kehidupan sosial yang harus dijalani. Klaim bahwa doktrin yang dianut dapat dipertanggungjawabkan secara penuh, rupanya tak sekaligus menjamin kualitas dampak yang dirasakan orang.

Memilih model keberagamaan mana yang benar dari sekian model yang ada ternyata tidak mudah. Tidak heran, semua orang kan bebas berpendapat atau berkonsep ria.Suka-suka lah.Tapi mbok yao model beragama yang disekemakan – model agama yang dicetuskan dari pikiran subyektif itu ndak hanya berorientasi pada diri dan keintiman Tuhan(vertikal), tapi seyogyanya juga mampu mengekspresikan kasih dan keintiman tersebut dalam ranah sosial (horizontal) yang dapat dinikmati oleh sesama sebagai buahnya. “Rasa” dan “mengerti” bukanlah momok yang menakutkan satu-sama lain, tapi sahabat yang hendaknya direlasikan yang jalinan keduanya dapat membuahkan hasil yang berguna bagi sekitarnya.Entah itu “rasa”, entah itu ‘mengerti”, orang tak peduli – yang mereka peduli adalah bagaimana “rasa” dan “mengerti’ pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang layak dinikmati.

Dalam hal ini saya sendiri juga masih jauh panggang dari api, baru mampu merefleksikan ini bagi diri – harap dalam proses berjalan saya dapat menghidupi. Ben ra mung ndobos puool. Slawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline