Jelang Pilpres 2024, sejumlah relawan tampak menggeliat. Ada yang caper. Ada yang baper.
Relawan dalam konteks ini adalah relawan politik. Mereka ialah para pendukung terhadap partai dan sosok bagi calon pemimpin. Mengapa caper dan baper?
Pemuji Sekaligus Pencaci
Relawan yang menyandang sebagai pemuji sekaligus pencaci bisa memerankan dua sosok sekaligus. Itu sebabnya, mereka bisa caper atau mencari perhatian juga baper atau terbawa perasaan.
Caper, manakala komunitasnya menyokong pujaannya. Mereka akan pamer kekuatan. Cara yang ditempuh dengan pawai massal. Berarak dengan tampilan yang menyedot perhatian massa.
Teriakan, yel yel, dan spanduk diumbar sambil mengusung partai atau sosok yang didukungnya. Tentu dengan gaya lebay agar massa tertarik.
Bagaimana jika mereka terusik? Misal ada yang mengritik partai dan sosok calon pemimpin yang diusungnya? Pertunjukan yang dapat kita tonton adalah Sang Relawan, akan baper.
Murka bisa ditampakkan. Ekspresi itu dipertontonkan terlebih ketika media elektronik meliputnya. Over acting atau lebay yang kita tonton. Sadar atau tidak mereka melupakan bahwa peran Relawan hanyalah penggembira.
Penentu tentang calon, baik yang akan menduduki lahan eksekutif maupun legislatif adalah kewenangan partai. Bukan Relawan.
Sadar diri sebagai Relawan merupakan keharusan. Ini bertujuan agar caper-baper yang berujung pada perilaku lebai tidak terjadi.
Perlukah Relawan diatur dalam kancah Pilpres 2024? Sangat perlu! Sebab, keberadaaan mereka bukan sebagai pendatang baru. Mereka adalah pemain lama. Kemunculannya memang temporer dan situasional.