Berbicara tentang kesetaraan gender di lingkungan masyarakat jawa, tidak akan pernah lepas dari konsep kanca wingking, jika diartikan secara langsung menjadi teman di belakang. Sebagian besar buku-buku atau pembicaraan tentang kanca wingking selalu memberi definisi miring terhadap kata itu, seolah-olah perempuan jawa hanya menduduki kelas ke dua setelah laki-laki.
Penafsiran semacam itu tidak salah, namun dapat membiaskan makna ketika mempelajari jawa. Menjadi jawa dapat dimaknai sebagai memahami dan menjalakan kehidupan yang esensial, namun juga secara fungsional dapat dimaknai sebagai berguna untuk kehidupan bersama (migunani tumrap urip bebrayan). Hidup bebrayan dapat bermakna brayat alit juga brayat ageng. Brayat alit dapat dimaknai sebagai komunitas kecil, keluarga, masyarakat jawa, atau manusia. Brayat ageng bisa dimaknai sebagai keluarga besar, juga semesta. Budaya jawa terdapat banyak misteri atau hal-hal yang diungkapkan tidak langsung, menggunakan simbol atau kiasan. Dengan demikian untuk mengartikan atau memaknai istilah baik itu kata, frase ataupun kalimat yang berupa semboyan dalam bahasa jawa tidak bisa sembarangan. Boleh dan sah-sah saja mengartikannya secara langsung, namun agar tidak rancu dapat digali lebih jauh pada tingkatan esensinya atau nilai fungsionalitas yang lebih tinggi atau luhur.
Distorsi makna atau realita?
Agak berat jika memahami filosofi nilai-nilai kehidupan jawa tanpa menjadi jawa. Sebagai contoh, ketika kita memahami kata kanca wingking tidak bisa langsung diartikan sebagai teman di belakang saja. Jika diartikan secara langsung dapat menimbulakan pembiasan ganda apalagi jika konsep kanca wingking dihubungkan dengan makna kata dari wanita, yang diartikan sebagai wani ditata atau berani ditata. Mengartikan secara langsung seperti itu seolah-olah sudah pas terlebih lagi hal itu selaras dengan gagasan pengarus utamaan perempuan yang dibawa dari dunia barat. Jika mempertanyakan permasalahan kesetaraan gender di jawa bukan semata-mata pemaknaan tapi berangkat dari realitas yang ada, maka hal ini juga benar adanya. Di jawa juga terjadi peminggiran perempuan oleh laki-laki, dengan demikian apakah berarti kita bebas memaknainya sembarangan toh itu secara nyata terjadi?
Peminggiran perempuan oleh laki-laki terjadi hampir disemua kebudayaan, termasuk jawa. Ketika hal ini terjadi di jawa, tentunya menjadi sangat ironis dan dipertanyakan. Tidak usah heran, hal ini terjadi karena wong jawa wis ilang jawane (orang jawa kehilangan identitasnya sebagai orang jawa). Orang-orang hanya kebetulan memakai pakaian jawa atau bahasa jawa atau dibesarkan dilingkungan keluarga jawa atau kebetulan tinggal di pulau jawa saja tanpa mau memahami dan menjadi manusia jawa. Sikap yang demikian, diungkapkan dengan nada geram oleh kakek saya sebagai orang yang cupet nalare (dangkal pemikirannya).
Hubungan laki-laki dengan perempuan
Gagasan kesetaraan gender yang beriringan dengan lahirnya feminisme lahir dalam kandungan revolusi industri, baik itu di Amerika atau Perancis yang terjadi 1760-1830. Kala itu terjadi pemasungan hak perempuan dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik. Jika ditelisik lebih dalam dengan perspektif jawa, gagasan kesetaraan gender mengindikasikan adanya keterpisahan antara laki-laki dengan perempuan. Celakanya keterpisahan itu bukan semata jarak, namun juga mengindikasikan adanya perbedaan strata, laki-laki ada di atas perempuan ada di bawah. Tidak salah jika perempuan menuntut agar mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan atau pekerjaan. Bukankah dengan tuntutan itu semakin mengamini bahwa manusia benar-benar merupakan alat produksi? Laki-laki dan perempuan bebas untuk menentukan masa depan atau karirnya sendiri, dengan demikian apakah pemaknaan kehidupan itu sendiri hanya terbatas pada tingkat pendidikan atau pekerjaan saja?
Hubungan yang paling dekat laki-laki dengan perempuan adalah sebagai suami istri. Tentunya pembahasan hubungan laki-perempuan saja akan lebih mudah jika memahami hubungan suami-istri dalam perspektif jawa. Pemaknaan kanca wingking akan lebih tepat ditandemkan dengan pemaknaan kata perempuan, dari pada wanita. Menurut Paulus Bambang Susetyo, perempuan dimaknai sebagai yang dipercayai atau yang ahli untuk melahirkan kehidupan yang lebih baik. Kanca wingking bukan hanya menempatkan perempuan mengurusi dapur tapi menjadi kanca ing gawe (rekan kerja) laki-laki. Kondisi tersebut digambarkan dalam situasi ketika ada tamu yang mengunjungi keluarga jawa, perempuan bukan hanya sibuk menyiapkan minuman atau hidangan di belakang tetapi perempuan dapat duduk menemani suaminya. Mendukung dan membantu suami layaknya rekan kerja. Mengingatkan dengan santun kepada suami ketika sudah terjadi pembicaraan yang ngelantur untuk kembali kepada tujuan awalnya.
Suami-istri jawa seyogyanya kompak dalam menyambut tamu, jadi tidak ada istilah tamunya suami atau tamunya istri, yang ada adalah tamu keluarga. Hal ini tidak langsung dimaknai harus selalu menemani, dalm hal ini harus empan papan (tahu situasi yang tepat). Keterbukan namun tidak blak-blakan akan ada dalam keluarga jawa. Ketika suami-istri jawa ada salah atau kekurangtepatan sikap dalam menyambut tamu, misalnya maka tidak akan segera disampaikan dihadapan tamu, tetapi dikomunikasikan dalam waktu yang mirunggan. Waktu yang mirunggan bukan hanya memperhatikan ada atau tidaknya tamu, tetapi juga memeperhatikan kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya. Hal yang kecil-kecil tersebut tidak perlu dirinci namun cukup dirasa, dan semua orang mempuanyai kemampuan untuk itu,tidak ada kaitanya dengan jawa atau bukan. Dalam situasi yang mirunggan diharapkan komunikasi suami-istri menjadi satu seni dalam menjalani hubungan yang istiwewa sebagai suami istri jawa. Keistimewaan itu bukan semata sebagai status sosial atau koalisi biologis ekonomis semata.
Istri sebagai garwa (sigarane nyawa) atau belahan jiwa sudah selayaknya mendapatkan tempat yang spesial dalam kehidupan suami, seperti dia memeperlakukan dan menghormati dirinya sendiri, bukan kepada pribadi lain. Hubungan semacam ini mengindikasikan ketidak terpisahan antara laki-laki dengan perempuan jawa, dengan demikian kurang pas jika membawa masuk gagasan kesetaraan gender yang notabene menunjukan keterpisahan antara laki-laki dengan perempuan. Tanpa harus melarutkan diri dalam euforia kesetaraan gender, dengan sendirinya kondisi yang dikhawatirkan tersebut akan musnah ketika sebuah keluarga benar-benar mau mendalami dan menjadi jawa.
Keluarga di masyarakat jawa tidak serta merta menjadi jawa. Keharmonisan dalam masing-masing keluarga jawa adalah bagian menjadi jawa itu sendiri. Orang-orang yang menggunakan bahasa jawa atau lahir dan besar di lingkungan keluarga jawa juga tidak dengan sendirinya menjadi jawa. Upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam keluarga jawa, justru menjadi pertanyaan besar yang mengada-ada. Namun upaya itu tidaklah salah mengingat kedalaman memahami makna hubungan suami istri dalam masing-masing keluarga juga beragam. Upaya memasukkan gagasan kesetaraan gender tak jarang justru menjadi bibit ketidakharmonisan dalam keluarga jawa. Tanpa harus terburu-buru membawa angin perubahan dari barat tentang kesetaraan gender, keluarga jawa bisa lebih limpad (lihai,tangkas) dalam menyikapinya. Penyikapan tersebut tidak dengan melihat keluar kepada histeria kesetaraan gender tetapi semakin melihat ke dalam filosofi nilai-nilai menjadi jawa.