“Apa sih yang dikerjakan ayahmu ?”, pertanyaan inilah yang menginspirasi tulisan ini. Sebuah kalimat pertanyaan dari sahabat kecilku sewaktu shalat jum’at, 13 Agustus lalu. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan titipan dari orang tuanya yang penasaran dengan apa yang terjadi.
Ayahku meninggal di hari Kamis, 12 Agustus 2010, sekitar jam 19.30 atau ba’da Isya. Bertepatan dengan 2 ramadhan 1431H. Ketika diinformasikan demikian orang-orang selalu bilang, “bagus sekali ya meninggalnya di bulan ramadhan”. Padahal kalau saya teruskan ceritanya, lebih menakjubkan lagi, ayahku meninggal di malam jum’at pertama ramadhan, ketika menyelesaikan shalat Isya berjama’ah di Musholla tercintanya. Beliau terjatuh kebelakang ke pangkuan sahabatnya, dari bangku yang digunakannya untuk shalat, setelah salam pertama tanda shalat Isya berakhir. Beliau menggunakan bangku karena hampir 10 bulan belahan tubuh kanannya nyaris lumpuh karena stroke. Di 2 hari terakhirnya itu, ayahku masih menyelesaikan puasa ramadhannya dan shalat 5 waktunya tanpa cela.
Tak berapa lama dari jatuhnya, tanpa erangan dan kejut badan, ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir, lalu posisinya dipindahkan ke ruang serbaguna dan disemayamkan disana sampai sebelum dibawa ke Masjid untuk dishalatkan, setelah shalat jum’at keesokan harinya.
Bagaikan seorang tamu istimewa yang diundang ke pertemuan penting, ayahanda berpenampilan sangat sempurna dipersemayamannya. Rambut yang baru dicukur dihari sebelumnya, kuku terpotong rapi, muka bersih bersinar, tak ada cairan yang keluar sehingga tak perlu hidungnya disumbat kapas, tak ada kotoran keluar dari tubuhnya saat memandikan, dan ibunda pun menyiapkan baju ihram dan sorban untuk dipergunakan disamping kain kafan yang membalut badannya. Sungguh cakap penampilannya.
Seperti juga sudah diatur, papan nisan ditulis oleh rekan saya seorang disainer sehingga tulisan yang terpampang bukanlah asal tulis namun juga elok dipandang mata. Kemudian karangan bunga tersemat didepan mobil ambulance yang membawanya. Walaupun sebelumnya istri saya kecewa, karena bunga yang datang dari kantornya berukuran kecil, lalu saya ungkapkan kalau bunganya ukuran besar tidak bisa ditaruh di depan ambulance. Total karangan bunga yang sampai ke rumah duka 12 buah, sangat banyak untuk ukuran perumahan kami.
Berduyun-duyun orang melayat, dari malam jum’at sampai mengantar ke pemakaman di keesokan harinya. Orang yang datang juga dari berbagai kalangan, dari kalangan elit (lingkup nasional) Chandra Hamzah (wakil ketua KPK),Erry Riyana (mantan wakil ketua KPK), tante Masnah (Ketua Komnas perlindungan anak), dari kalangan menengah dan juga tentunya kalangan bawah. Ada juga warga negara Perancis, Jepang dan juga Kanada yang juga hadir sebelum dilakukan shalat jenazah, hal yang tidak pernah terjadi di komplek perumahan tempat ayahku tinggal.
Lagi-lagi bagaikan sudah ada skenarionya, shalat jenazah dipimpin oleh ustadz kesayangan ayahku, ust. Cholisudin Yusa, yang tiba-tiba muncul memimpin shalat 4 takbir itu, walaupun beliau bukan merupakan imam dan khotib shalat jum’at yang sebelumnya sudah terselenggara.
Kembali lagi ke pertanyaan sahabat kecil saya tapi kali ini dengan versi lengkap, “apa sih yang dikerjakan ayahmu, sehingga bisa meninggal dalam kondisi mulia seperti itu, pada saat shalat jama’ah ?”. Pada saat pertanyaan ini diluncurkan, saya berujar tidak tahu. Mungkin orang berkata, koq anaknya nggak tau sich ?, iya benar saya tidak tahu mengapa ayahanda diperlakukan begitu istimewa.
Karena menurut saya, ayahanda hanyalah orang biasa, beliau bukan pejabat, bukan jendral, apalagi presiden, bukan ustadz, bukan kiyai, bukan guru besar, tidak bertitel Doktor, bukan tempat orang bertanya. Beliau pensiunan PNS sejak 10 tahun yang lalu, lulusan sarjana muda dengan title B.Sc dibelakangnya walaupun hampir tidak pernah beliau gunakan. Di lingkungan rumah pun jabatannya tidak menonjol, yang saya ingat hanya pernah menjadi sekretaris RT. Sedangkan di lingkungan keluarga, juga bukan orang nomor 1. Karena sifatnya yang pendiam, untuk masalah pidato atau sambutan keluarga, bukanlah tugas ayahku, masih ada kakaknya yang lebih sering mengambil alih hal ini. Jadi sekali lagi, buat kami anaknya, ayahanda hanya orang biasa, yang tinggal di pinggiran Jakarta Selatan, tidak kekurangan namun juga tidak berlebihan.
Setelah saya cari tahu dan dalami keseharian dan ibadah ayahanda, ada 2 hal yang menonjol dalam keseharian ayahanda :
1.Ikhlas
Semua aktivitasnya dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa keluhan, semuanya diterima dengan lapang dada. Apalagi apabila hal tersebut untuk keluarga, baik keluarga dari ayahanda maupun ibunda, tidak ada ragu sedikitpun untuk mengeluarkan bala bantuan, walaupun beliau sendiri bukan orang yang kelebihan. Hal terakhir yang saya lihat adalah ketika beliau terserang stroke dan beliau tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun di 2 hari terakhirnya, beliau terlihat sudah mampu menerima cobaan bahwa kakinya sudah sulit untuk digerakkan sempurna dan tangannya tidak mampu digerakkan. Dengan kondisi begitu, di dua hari terakhirnya, beliau sudah mampu beraktivitas dengan rekan-rekannya, mengobrol dan bersenda-gurau seperti tidak ada yang terjadi. Di hari-hari terakhirnya beliau sudah mengikhlaskan kondisi yang dideritanya.
2.Shalat
Kalau bisa dibilang merupakan aktivitas yang paling dicintainya dan sangat ditunggu-tunggu kedatangannya. Hal ini sangat terlihat setelah beliau pulang dari menunaikan ibadah haji di tahun 2002. Sebelum terserang stroke, shalat lima waktunya selalu berjama’ah di musholla dekat rumah, kecuali ada keperluan bepergian. Setelah tangan dan kaki kanannya tidak sempurna lagi, beliau shalat lima waktunya di rumah terkadang duduk, terkadang juga tidur sewaktu beliau tidak sanggup untuk duduk. Begitu juga waktu di rawat inap di rumah sakit, tidak pernah ditinggalkan shalat walaupun dalam keadaan tidur. Begitu juga shalat tahajud, tidak pernah dilewatkan seharipun, walaupun kondisinya sudah tidak seperti orang kebanyakan lagi.
Sering orang melihat dan memandang orang lain dari jabatan dan hartanya, namun hal itu tidak berlaku dihadapan Yang Maha Kuasa. Ayahanda yang merupakan orang biasa di mata kami dan masyarakat, bagaikan diperlakukan sebagai tamu istimewanya dalam menuju alam kuburnya.
Beliau bukan sekedar pahlawan keluarga kami, namun juga tauladan dalam keseharian dan beribadah.
[caption id="attachment_235469" align="alignleft" width="228" caption="ayahanda bersama salah satu cucunya"][/caption]
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Telah berpulang ke rahmatullah,
H Muhammad Hasan bin H Ahmad Berkat Nataprabu
12 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H