Aku sudah seringkali hilang di antara pematang-pematang yang membentang panjang. Sempat dipecah-belah larik dan terik, aku cabik. Kemudian jika malam datang, aku bersegera menjelma kunang. Mengepak ke berbagai arah sebab gelap tak menyisakan pertanda maupun carikan peta. Aku, kerap buta.
Telah kukunyah pelbagai arang dan batu karang. Kau pun tahu betapa relung dadaku sedemikian padang paling gersang. Berkali aku bersembunyi, berlari, dari gurisan-gurisan kisah dan sejarah. Kubawa serta berkoper-koper resah dan amarah sehingga punggungku dibebat segala macam anyir darah yang tumpah.
Seharusnya aku menyerah lalu duduk manis di bangku taman, menungguNya menjemputku pulang. Tapi aku berjalan, mengepak, berlayar, mengarungi segala macam lautan paling kelam dan angin paling dingin. Mungkin seharusnya aku diam, mendekam dalam sekam, berselimut malam demi malam. Namun kaki ringkihku tertatih, mata daunku meretih, langkahku melagu partitur-partitur lirih, sedih.
Setelah kesunyian yang begitu menikam, aku menemukanmu di seberang jalan, tepat di bawah papan iklan yang menjanjikan bermacam-macam menu masa depan. Seperti di restoran siap saji aku terburu-buru memesan, takut didahului perempuan lain yang mungkin mengantri di belakang. Untukmu, aku kembali menjelma kunang.
Kini pematangku demikian ramai. Banyak suara berderai, saling memuai. Aku pun seutuhnya menyebutmu. Suaraku sendiri bergaung, berdebum, menjelma apapun. Ketakutan demi ketakutan mewujud hantu-hantu yang menjegal, tak membuat langkahku gontai dan lunglai. Sebab perjalanan belum jua usai.
Sayap kunang-kunangku sempurna genap setelah hujan yang begitu gegap. Gelap ini, Am. Adalah sejarah yang di dalamnya kita berdua terbang.
Ketika lampu-lampu kota mulai dinyalakan, kutemukan tanganmu di antara orang-orang yang berjejer di tepi jalan. Engkau di sana. Berdiri di atas trotoar dengan lengan terbuka. Menyambutku pulang.
Aku lah kunang-kunang yang kini mengepak ke arahmu, setelah tamat kubebat riwayat-riwayat. Telah kutemukan pula gaung suara dan jabat tanganmu di belantara puing-puing. Meski malam sudah sedemikian hening dan asing, sayapku akan selalu berdenting-denting.
Aku pun kembali, kepadamu. Mengarungi malam, bersamamu....
**