Terinspirasi dari tulisan Hilda di sini tentang para penulis ‘kejam’ yang membalas komentar para komentator dengan ‘semena-mena’ atau bahkan tidak membalas sama sekali, saya jadi ingin menulis tentang para komentator. Well, ini bukan tulisan sanggahan, ini hanya tulisan tambahan.
Sekarang ini, saya jarang sekali menulis di luar fiksi. Seringnya saya memosting cerpen atau puisi di Kompasiana. Jadi, Anda bisa bayangkan bagaimana proses kreatif seorang penulis cerpen; duduk serius di depan komputer, kening berkerut-kerut, kepala puyeng memikirkan konflik dan ending, habis bergelas-gelas kopi, habis berbatang-batang rokok, dan begadang tiga malam hanya untuk sebuah cerpen. Tapi, ketika cerita itu diposting di media seperti Kompasiana, malah tidak mendapat apresiasi yang cukup. Cukup dalam hal ini adalah tidak usah lah jauh-jauh kritik dan saran, tapi mbok ya jangan komen yang out of topic.
Saya tidak ingin dipuji, tidak ingin dielu-elukan dengan kata-kata; wah bagus, wah keren, dan wah yang lain. Itu komentar yang bisa mematikan kreatifitas bagi saya, jadi jangan salahkan saya jika komen-komen seperti itu hanya akan saya balas dengan ucapan terima kasih. Kalau komentatornya saya kenal secara pribadi atau memang sudah saya kenal lama, biasanya saya tambahkan dengan balasan komentar yang lebih jayus^^
Sebagai blog keroyokan yang sudah besar, beranggotakan ribuan orang dari seluruh dunia dan dari berbagai latar belakang, justru saya mengharapkan ada iklim yang kondusif untuk mempertajam tulisan masing-masing kompasianer. Kritik dan saran, sekecil apapun, sangat berarti. Kalaupun Anda tidak bisa berkomentar karena memang sudah speechless membaca tulisan saya yang aduhai kerennya (tuh kan jadi narsis), maka tolong jangan menulis komentar yang tidak ada hubungannya dengan tulisan saya. Misalnya, menanyakan kabar kekasih saya Vino Bastian atau selingkuhan saya Fauzi Baadilah. Please, saya sudah cukup dikejar-kejar wartawan infotainment. Jadi sekali lagi tolong, jangan tambah beban penderitaan saya.
Ketika saya masih bergiat di blog sebelah, saya dan si Kumis Aris Kurniawan Lelaki Pujaan Emak-Emak terbiasa mengkritisi cerpen sehingga dari situ tercipta iklim kondusif untuk saling memperbaiki tulisan. Meski saya akui, saya lebih banyak mengkritisi dari sudut pandang pembaca, tapi dari situ tumbuhlah benih-benih para penulis yang semakin berkualitas.
Sebetulnya, saya tidak ingin menulis ‘kalau lu nggak niat komen, mending enggak usah komen’, tapi melalui tulisan ini saya ingin mengajak para kompasianer untuk mulai belajar bagaimana mengapresiasi suatu karya sebagai karya. Dengan begitu, Anda akan belajar menjadi pembaca yang bijak, yang tidak menjerumuskan penulis kepada jurang ‘bumerang’. Dengan begitu juga, Anda akan belajar mengkritisi suatu karya. Dan dengan belajar mengkritisi suatu karya, Anda akan terlecut menulis karya yang lebih baik lagi karena sudah bercermin dari kesalahan-kesalahan dari karya penulis yang karyanya Anda kritisi.
Oh iya satu lagi, dalam mengkritisi suatu tulisan, jangan menyerang pribadi penulisnya. Mengapa? Karena di mata saya, orang-orang seperti itu adalah komentator paling childish.
Well, mari menulis dan berkomentar dengan santun dan bijak.
Note: no hurt feeling yo ^^
(Cibiru- Bandung, 27 Maret 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H