Catatan ini untukmu, di dalamnya berisi barisan cinta dan rindu yang tidak bisa kuhantarkan satu persatu. Aku tak bisa mengirim ke alamatmu karena rumahmu tidak memiliki satu pun pintu, untukku mengetuk atau sekadar bertamu. Layak kah cinta hidup semu laksana hantu?* Sebab kadang melayang dan memeluk bayang menjadikanku tidak manusia karena terlalu sering bersentuhan dengan belenggu.
Hidup yang sering kusebut sebagai perjalanan kerap membuatku sangsi akan kata-kata penuh janji. Tak jarang aku dikebiri imaji dan delusi. Cinta, yang selalu kubisikkan di telingamu barangkali adalah kecupan-kecupan hujan, gerimis yang menandak-nandak di luar. Tak pernah sekalipun berhasil membuatmu menyentuh denyar. Cahaya suar demi suar kian samar. Aku terkapar.
Di dalam sini, dalam relung bernama dada. Ada banyak rasa yang ingin kumuntahkan bersama prahara. Namun mataku getas, rinduku lambat laun meranggas, layar-layar asmara pun kandas. Hari demi hari dalam penantian membuat dadaku kian renggas.
“Jika dengan mencintaimu, air mata itu akan mengering, belati akan berkarat dan luka-luka hanya bekas tanpa gigit. Maka, ijinkan aku untuk mencintaimu... Jangan tanyakan isi hatiku, jangan pernah,” bisikmu dalam sebuah pesan.
“Aku mencintaimu, dan akan selalu merindukanmu,” bisikku dalam pesan yang lain.
Namun pesanku tidak pernah sampai, ia bergelantungan di awan-awan hujan, berarak menembus ketiadaan. Pesanku… tidak pernah sampai.
(Sarijadi, 14 Maret 2012)
*Supernova – Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H