Lihat ke Halaman Asli

Kenangan yang Menikam

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13304976381562466204

Adakah jembatan itu masih menyimpan jejak yang kita tinggalkan?  Percakapan-percakapan pendek tentang cuaca, kapitalis yang kita kutuki bersama, dan tingkah dunia yang kian tua.  Ataukah mereka lupa bahwa kita adalah sepasang anak muda yang seringkali dikecewakan harapan dan mimpi sendiri sehingga ketika hujan tidak berhenti, kita kerap kali memaki.

Banyak nada yang menyerang telinga detik ini, partitur sumbang tentang masa yang tak ingin aku kenang.  Lagu-lagu ini, lirik-lirik ini... brutal menghamburkan bau senyummu, gegap jabat tanganmu, segalanya tentang kamu.

Tidak ada obat paling tajam untuk mengusir ruang kosong yang kau tinggalkan.

*

“Anakku akan mati, Marni…” perempuan itu duduk di kursi ruang tamu dengan wajah lusuh.  Di tangannya tergenggam carikan resep obat yang tak sanggup ia tebus.

Mataku nanar, ada hujan yang siap tumpah.  Aku ragu memeluknya, memeluk ia yang di kala kami masih sama-sama remaja,  adalah rival paling susah ditumbangkan.  Asmara begitu jahat sehingga kami berdua berubah dari sahabat menjadi dua orang yang saling membebat.  Melumuri hatiku sendiri dengan dendam paling kesumat.

“Berapa banyak lagi orang yang harus mati di tanganmu?” bibirku bergetar, tiba-tiba amarah menguar.

Ia mendongak.  Kaca di matanya pecah, sudah.  “Maafkan aku…”

Aku diam.  Kalimat apapun yang kulontarkan tak akan membuat kekasihku Diky kembali.

“Tolong aku, Marni,” perempuan itu, Irma memohon, tersaruk ke pangkuanku.  “Raiha adalah anak Diky.  Buah hati kami, dan sekarang ia terbaring sakit di rumah, demam berdarah.”

“Bawa dia ke rumah sakit.  Kenapa kau harus datang kemari?” aku meringis, nada sinis.

Irma menatap mataku.  Mengangsurkan carikan resep obat dan surat rujukan, banyak angka dengan nol yang lebih banyak lagi di kertas-kertas itu.  “Lihat ini, Marni! Angka-angka yang tertera di resep obat ini saja tidak sanggup aku bayar.  Aku sudah mencoba ke rumah sakit tapi mereka tidak menerima pasien miskin seperti kami, harus ada uang baru tersedia kamar.”

Raiha… anak yang ditinggalkan Diky di rahim Irma.  Ah, lelaki yang terjebak ke dalam dunia abu-abu penuh kemuflase yang dibawa Irma.  Tapi kenapa Diky harus mati dengan cara paling menjijikkan; membusuk dipenjara?  Tapi kenapa waktu itu aku tidak pernah tahu bahwa setelah Irma merebutnya dariku, mereka berkubang dalam dunia hitam bernama obat-obatan.   Tapi kenapa aku tak pernah tahu bahwa Diky dipenjara, diperkosa di sana, mengalami sakit parah dan telat ditangani?  Tapi kenapa aku hanya harus tahu ketika Diky mati?  Meninggalkan aku dan Irma dalam sakit yang tidak bisa kami namai.

Irma menangis.  “Tolong aku….“

“Mari bawa Raiha ke rumah sakit,” aku bangkit, meninggalkan Irma sebentar menuju kamar.  Mengambil buku tabungan dan melihat angka yang tertera di sana, dadaku disergap gamang.

“Bunda?” putriku Desta terbangun.  Tangannya merayap-rayap menggapai udara.

Aku menggapai jemarinya, menangkupkan ke wajahku.  “Tidurlah lagi, sayang.”

“Ada tamu Bun?” tanyanya.  “Ada suara orang menangis di luar.”

“Teman Bunda,” jawabku singkat.

“Dia kenapa?” bola mata Desta bergerak-gerak mencari tempat berpijak.  Tapi aku tahu bola mata itu tak akan bisa menemukan apapun kecuali gelap.

“Anakknya sakit, dia minta bantuan karena tidak bisa membayar uang rumah sakit,” aku duduk di tepi ranjang, memandang wajah Desta yang cemerlang.

Desta menggenggam tanganku.  “Sakit?  Apakah anak teman Bunda itu buta seperti Desta?”

Aku menggeleng, tidak sadar bahwa dia tidak akan bisa melihat itu karena kornea matanya tak bekerja semenjak kecelakaan yang menimpa kami ketika umurnya baru sepuluh bulan.  “Bukan, anaknya terkena demam berdarah.”

“Kasihan.  Bunda tolong dia ya.”

Aku meremas buku tabungan di tanganku.  “Andai Bunda bisa.”

“Desta tahu Bunda menabung uang untuk operasi mata Desta,” ucapnya pelan.  Jemarinya yang mungil memelintir baju tidurnya.  “Pakai saja uang itu, bisa kan?”

Aku tercekat.  “Tapi mata kamu…”

“Bun, Desta tidak akan meninggal hanya karena Diksa buta, tapi anak teman Bunda itu mungkin akan meninggal kalau tidak segera di bawa ke rumah sakit, kan?  Desta pernah mendengar kalau demam berdarah itu sangat berbahaya.  Tolong dia, Bun.  Nanti Bunda bisa menabung lagi untuk biaya operasi mata Desta,” bibirnya yang ranum menyungingkan senyum.

Kecupanku mendarat di kepalanya.  “Bidadariku,” aku berbisik.

Irma masih berlinang air mata ketika aku kembali datang ke ruang tamu.  “Ini…siapa?” ia menunjuk Desta yang mengekor di belakangku.

“Ini Desta, putriku,” aku menggamit tangan Desta.

Irma menyodorkan lengan, mengajak berkenalan, tapi Desta diam.  Mata Irma memandangku tak mengerti.

“Desta buta sejak kecelakaan mobil lima tahun lalu.”

“Tante..” tangan Desta menggapai-gapai.  “Perkenalkan, saya Desta anaknya Bunda.  Maaf, saya tidak bisa melihat wajah Tante karena saya buta,” ia tersenyum seakan buta bukanlah sebuah prahara.  “Kata Bunda anak tante sakit parah?  Ayo kita bawa dia ke rumah sakit.  Oh iya, umur saya  enam tahun, berapa umur anak tante?”

Irma meraih tangan Desta, menggengamnya.  “Ini Tante Irma, Desta sayang.  Teman sekolah Bunda dulu.  Anak Tante juga seusia kamu, enam tahun.”

“Wah, kami sebaya,” Desta tersenyum senang.

Irma menggamit lenganku, mengajak menjauh.  “Marni, setahuku kamu belum menikah, jadi itu anak siapa?”

“Itu tidak penting.”

“Mata dan hidungnya mirip Diky,” bisiknya.

Mataku terlempar ke wajah Desta.  “Iya, mirip sekali,” suaraku bergetar.

“Katakan padaku, Marni.  Apakah Desta anak Diky?”

Aku mengangguk.

Wajah Irma penuh berkecamuk.  Ya, ia merebut Diky dariku ketika aku mengandung anaknya.  “Maafkan aku…”

“Sudahlah, ayo kita bawa Raiha, adik Desta ke rumah sakit,” kataku, begitu banyak kalimat yang siap tumpah, tapi kami tak memiliki banyak waktu.

Irma, tanpa kuduga,  merangkulku.  Kami berdua berpelukan seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu waktu kami masih remaja.  Dua orang yang pernah saling membebat kini kembali jadi sahabat.

**

(Markas Empayer Renjer Cabang Gasibu, Bandung – 29 Februari 2012)

  • Ilustrasi diculik dari sini
  • Soundtrack: Foolish Games (Benjamin Costello)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline