:Para pendukung Prabowo
Ketika membaca catatan ini, mungkin Anda masih terkena euforia Pilpres. Meski ini minggu tenang, tapi jujur saja, masih ada gejolak yang masing-masing kita rasakan. Tidak mudah memang lepas dari sesuatu yang kita yakini benar, kita yakini sebagai sebuah bentuk perjuangan, kita yakini sebagai sebuah perjalanan mewujudkan harapan.
Saya, dan Anda, kali ini tengah bersebrangan. Mengambil jalan yang berbeda dan kelokan-kelokan yang tak sama. Di jalan yang berbeda itu, kita sama-sama menemukan ranjau, menemukan jurang, menemukan binatang buas yang menghadang di tengah jalan. Tapi kita sama-sama tahu, bahwa di ujung sana, pada akhirnya kita akan bertemu; saya, dan Anda.
Apa yang kita lakukan beberapa minggu belakangan adalah sebentuk perayaan, bukan peperangan. Saya dan Anda tak harus menjadi musuh yang saling menikam, saling melempar kata-kata kasar hanya karena kita berbeda pilihan. Jika sejak sebelum Pilpres kita adalah teman, lalu mengapa sekarang ini kita berubah menjadi lawan?
Jujur saja, beberapa hari belakangan saya kerap merasa sedih menyaksikan kita. Kita yang dulunya bisa berdiskusi bersama, mengeluarkan pendapat tentang apa saja tanpa harus saling merasa terluka. Kini, kata-kata kerap dijadikan senjata. Kita menjadi orang-orang yang lupa bagaimana tertawa, lupa bagaimana caranya berteman, lupa bahwa sesungguhnya bukan pertikaian seperti ini yang kita inginkan.
Pisau-pisau tuduhan dihunus, ditusukkan kepada siapa saja yang berbeda pilihan; agama, suku, ideologi, segalanya dijadikan senjata. Orang-orang yang tadinya santun dalam berkata-kata berubah menjadi orang yang terus-menerus meneteskan bisa dari mulutnya. Orang-orang yang tadinya bercengkrama mesra di dunia maya kini saling melemparkan luka. Orang-orang yang sebelumnya berkunjung ke beranda facebook untuk mengetahui kabar dari teman sekarang berubah untuk mengintip dan menyerang pihak lawan.
[caption id="attachment_332542" align="aligncenter" width="512" caption="Foto dipinjam dari: www.tiben.itb.org "][/caption]
Inikah yang kita inginkan? Perjuangan sekotor inikah yang akan membawa perbaikan?
Sampai hari ini, coba hitung berapa teman yang telah kita sakiti? Berapa kawan yang kita putuskan tali silaturahmi? Berapa banyak sahabat yang kita caci maki? Coba kita renungkan, apakah perhelatan ini lebih berharga daripada kekerabatan yang kita putuskan?
Kawan, sebuah harapan akan negeri yang lebih baik tak harus diwarnai dengan kesakitan seperti ini. Tak harus kita campur-adukkan dengan kebencian. Dengan saling menghunjamkan serapah, apa yang akan kita dapatkan? Dengan saling mengumbar amarah, bukankah tak akan menyelesaikan masalah?
Sepanjang ingatan saya, ini pertama kalinya dalam sejarah Indonesia kita begitu antusias mengeluarkan suara. Ketika setiap orang ikut berkontribusi dengan caranya masing-masing. Ikut menyingsingkan lengan baju untuk mengantarkan pemimpin pilihannya ke kursi presiden.