Akhirnya, masa reformasi dimulai dan rakyat Indonesia dapat memperoleh kembali kemerdekaannya dalam berpendapat. Karena banyaknya kegagalan dalam pemerintahan yang diperoleh oleh Presiden Soeharto dan areknya, orde baru berakhir. Hal ini membebaskan rakyat Indonesia yang selama masa tersebut dibuat bisu dan tidak berani menyuarakan perasaan dan unek-uneknya. Yang sebelumnya semua keputusan presiden dianggap keputusan yang paling benar dan dijadikan keputusan bersama, menjadi penuh komentar dan hiduplah nilai demokrasi yang sebenarnya. Tidak terbayangkan bagaimana para pengamat politik yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa pada masa orde baru menahan hasrat mereka untuk bersuara dan kelegaan mereka menumpahkan segala yang dipendamnya selama 32 tahun pada masa reformasi.
Kemerdekaan yang telah diraih tersebut semakin lama semakin menjadi. Ditambah lagi kemudahan mengakses internet menjadi salah satu media masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan kebebasan yang menjadi hak mereka. Hal ini menunjukan bagaimana keragaman cara pikir masyarakat yang terlihat jelas dalam bentuk tindakan, tulisan, maupun sebuah komentar. Keragaman sebagai hasil dari kebebasan tersebut diharapkan menjadi sebuat aset yang digunakan untuk melengkapi dan mendukung untuk mencari jalan yang paling tepat menghadapi sebuah masalah. Tetapi sebaliknya, hal ini malah merusak dan meceraiberaikan kesatuan masyarakat Indonesia.
Buktinya, beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar berita mengenai penyalahgunaan kebebasan dalam berpendapat. Akhirnya tersangka memiliki pihak pendukung dan penolak yang keduanya merasa kelompok mereka paling benar dan seolah-olah masyarakat terbagi menjadi 2 sisi yang saling berkebalikan. Sebenarnya hal ini dapat dihindarkan karena dalam berpendapat kita memerlukan kedewasaan dan pemikiran yang matang.
Media social merupakan sebuah sarana yang bebas diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun juga sarana yang bebas bagi seseorang untuk berekspresi dan berbagi. Oleh karena itu kita memang benar-benar perlu memfilter apa yang akan kita unduh, peristiwa apa yang kita bagikan, atau tulisan yang bagaimana yang dapat dibaca banyak orang. Sebagai masyarakat yang hidup dalam kebhinekaan tentu kita berdampingan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Maka dari itu, pada unduhan yang kritis pun kita perlu memilih format kata atau penggunaan kalimat yang tepat yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat menyebabkan suatu pihak merasa tersinggung.
Memiliki media social pun memerlukan kedewasaan. Beberapa media social seperti facebook atau twitter mengharuskan user atau penggunanya berusia diatas 17 tahun. Hal ini bukan semata-mata karena usia tersebut dianggap tua tetapi karena pada umumnya, remaja berusia 17 tahun memiliki sikap yang sudah dewasa sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat bagaimana mereka bertindak, termasuk dalam menggunakan media social.
Karena banyaknya kasus belakangan ini yang menyangkut penggunaan internet, sebagai tindakan preventif, pemerintah menerbitkan undang-undang baru yakni UU ITE. UU ITE ini bertujuan untuk mencegah masyarakat menggunakan media social sebagai sarana untuk melanggar norma kesusilaan, menebarkan kebencian, mengancam orang lain, mencemarkan nama baik, menyebarkan berita hoax, dan melakukan penyadapan. Atau sederhananya, mengajak masyarakat untuk menggunakan media social dengan lebih bijak dan dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H