Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Zaki

Guru | Pecinta Sejarah

OVJ (Dalam Kajian Budaya)

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa yang tidak kenal dengan acara Overa Van Java (OVJ) sekarang ini?. Boleh dikatakan mereka yang tidak mengenal atau barangkali tidak menahu OVJ pasti jarang menonton TV sambil melepas penat, relax untuk gelak tawa yang khusus diberikan oleh para pemain OVJ. OVJ dengan segala pembaharuan komedi yang mutakhir telah membius para penonton di Indonesia dan telah menselaraskan selera orang-orang Indonesia. Sehingga tak lama dari kemunculan OVJ maka acara yang sedikit mirip dengan OVJ hadir dibeberapa stasiun TV di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa Industri perfilman kita sedang meningkat dan publik merasa senang dengan kehadiran acara-acara tersebut.

Barangkali kita masih mengingat ketika menjamurnya acara mencari bakat penyanyi Indonesia pada dua tahun dari sekarang, setidaknya menjadi sedikit referensi bahwa hal tersebut tidak menjauhkan bahwa yang serupa akan terjadi lagi. Indonesian Idol, Academi Indonesia, Mencari baka Dangdut, dan acara-acara lain-nya yang serupa dihadirkan kehadapan publik dengan kemasan yang berbeda namun isinya sama yaitu untuk mengisi kekosongan acara.

Sontak acara-acara tersebut mampu membius orang-orang Indonesia pada waktu itu, selain acara tersebut memang benar-benar acara baru ada juga hal yang membuat acara tersebut lebih menarik perhatian, yaitu para penonton disuguhkan untuk memilih para penyanyi yang mereka idolakan, siapapun itu yang menjadi pemenang adalah orang yang paling banyak mendapatkan SMS dari penonton di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada kolerasi yang sama antara objek dari penawaran Acara Idol dengan OVJ. Namun terdapat kesinambungan hal yang tidak terbesit dan tidak nampak yang harus kita cari tahu keberadaannya dengan menggunakan metafora-metafora tanda. Dengan begitu maka sesuatu yang tidak tampak dari kejauhan akan nampak dekat ketika kita menjadi sesuatu yang anti.

Sekilas apa yang dihadirkan dalam TV atau media komunikasi lain-nya telah menjadi sesuatu wadah yang empuk bagi para elit industri. Ditengah keberadaan nikmatnya para penonton dengan objek yang ditandai ternyata ada ruang lingkup gelap yang harus diterangi oleh cahaya terang. Yang kalau dijabarkan dan diungkap akan menjadi sesuatu yang panjang meruntuy tiada tapal batas. Setidaknya ada segelintir kajian yang mengkhususkan analisisnya untuk membuka kedok gelap dalam acara-acara diatas, salah satunya adalah dengan kajian budaya populer/Industri.

Kerinduan sejarah peralihan

Sengaja saya menyandingkan term yang bersilang saling diatas untuk menghadirkan wacana yang saling ada, keterkaitan yang rumit yang harus diterangi. Kalau diamati dengan seksama mengenai OVJ, acara tersebut adalah produk industrialisasi budaya yang dikemas melalui media massa (TV). Kata budaya dalam kajian budaya menjadi titik tolak dari definisi budaya secara umum. Dalam Kajian budaya konsep budaya dapat dipahami seiring dengan perubahan prilaku dan struktur masyarakat di eropa pada abad ke 19, yang sekarang ini hal demikian sedang terjadi di negara kita. Yaitu dengan kemajuan tekhnologi dan industri2 yang menjadi anak dari globalisasi. Untuk meruntuy sedikit permasalahan saya akan mencoba memaparkan pemahaman modernisme > postmodernisme > dekonstruksi sehingga akan nampak suatu hubungan intim untuk membaca OVJ dalam kajian budaya.

Dokumen penting dalam lahirnya kajian budaya menurut saya terletak pada apa yang namanya peralihan dari modernisme ke postmodernisme. Dalam keadaan modern manusia benar-benar ingin menguasai dunia dan dirinya sendiri karena ada kekuatan dari dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan mitos-mitos ilahi.

Modernisme. Heidegger menjelaskan dalam karyanya tentang Neitsche dikutip oleh Levin dalam buku The Opening of Vision Nihilism and the postmodernis situation bahwa apa yang disebut dengan perioda modern dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran semua ada. Manusia mempunyai kekuatan yang bisa memilah untuk dirinya sendiri, maka tidak salah bahwa salah seorang pemikir cemerlang Descartes berujar aku berpikir maka aku ada.

Hegel lebih tegas mengatakan bahwa periode modern sekarang ini sebagai satu periode dimana manusia sebagai subyek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria dalam kehidupannya didunia, tidak ada yang bisa melegimitasi manusia kecuali manusia itu sendiri dan akal budi sebagai penopangnya. Lebih jauh bila dijelaskan apa yang dibenarkan oleh akal budi adalah dengan melalui ilmu pengetahuanlah manusia modern mendapatkan kebenaran ideal yang jauh dari hal-hal mistis.

Manusia modern mampu membuka simpuls gelap dan membuka keterbukaannya kepada kebadian yang indah di masa depan, maka tak ayal Habermas menjelaskan perihal Zeitgeist modern sebagai dicirikan oleh masa kini sebagai suatu transisi yang dikonsumsi berdasarkan kesadaran akan percepatan serta harapan akan perbedaan di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline