Lihat ke Halaman Asli

Tanpa Bayang-bayang (Orisinalitas Zaman Sekarang)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seperti halnya murid Gandhi yang sedang mengungkapkan gagasannya tentang bagaimana melawan penindasan, yang kemudian diartikan oleh orang-orang yang mendengarkan, dan mengenal Gandhi, bahwa murid tersebut sedang menjadi perpanjangan lidah Gandhi. Walaupun mungkin Gandhi sendiri adalah perpanjangan lidah orang besar lainnya, Sidharta Gautama misalnya. Dan walaupun lagi, murid tersebut mungkin telah memodifikasi gagasan Gandhi dengan pemikirannya sendiri yang dua langkah lebih maju.

Wah, jadi serius gini nih!

Baiklah.. Apapun alasannya, hidup di bawah bayang-bayang orang lain – biarpun itu masih menurut orang-orang, yang akhirnya menjadi menurut kita sendiri – adalah menyebalkan. Gagasan-gagasan, kemampuan, ketrampilan, dan mungkin kegilaan kita tidak diapresiasi sebagai orisinil dari diri kita. Murid tidak bisa apa-apa kalau tidak ada gurunya! Is that right?!! Perhaps!

Dalam kenyataannya, dalam mencipta musik maupun tulisan, gaya saya banyak dipengaruhi oleh musisi maupun penulis lain yang terlebih dahulu eksis. Ada sedikit intro Dashboard Confessional, sepenggal petikan gitar John Taylor Duran, cengkok vokal Bob Marley, goresan canda nakal Gus Dur, dll. Kalo kata teman saya, “Di dunia ini sudah tidak ada yang orisinal!” Mungkin ungkapan tersebut ada benarnya. Pernah dalam beberapa kali kontemplasi, saya menemukan bahwa saat ini tidak mungkin mencipta (dalam hal ini musik) tanpa pengaruh karya orang lain. Waktu pertama kali mendengar musik saja, itu adalah musik buatan orang lain, bukan musik yang dimainkan dan di-arrange oleh Tuhan langsung dan saya dengar disuarakan dari salah satu sudut langit. Belum pernah saya mendengar cibiran orang tentang diri saya, “Si Patri, Tuhan banget!” Yang ada, mungkin, “Si Patri, Inang banget!” [bagi yang belum mengenal Pak Inang, dia adalah guru karate saya] atau “Patri, Jim Morrison banget!” [Jim adalah vokalis The Doors]

Kedua orang tadi, Pak Inang dan Jim Morrison, adalah manusia-manusia sama seperti saya, walaupun mereka punya lebih banyak pengalaman dan mungkin lebih tenar, tetap saja saya tidak ingin dianggap bahwa saya adalah (duplikat) dirinya. Karena saya tahu bahwa saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan gagasan-gagasan mereka. Apalagi Jim Morrison sudah meninggal, dia sudah nggak bisa mengembangkan gagasannya lagi. Coba deh lihat kisah Martin Luther King, Jr. Apakah mimpinya terwujud ketika dia masih hidup?

Kembali lagi ke Piramida Maslow, bahwa (berkaitan dengan tulisan ini) kebutuhan akan aktualisasi diri terkooptasi oleh bayangan eksistensi orang lain yang lebih dahulu eksis. Namun demikian eksistensi orang lain itu tidak akan abadi jika kita, yang berada dalam bayangannya, tidak merebut resiko dianggap “duplikat” dan mengembangkan gagasan-gagasan sebelumnya sehingga menjadi eksistensi diri kita sendiri.

Murid memang tidak bisa apa-apa kalau tidak ada guru, dan mimpi guru tidak akan terwujud jika tidak ada yang menjadi muridnya!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline