Lihat ke Halaman Asli

Kajian Manajemen Layanan Buprenorfin dalam Upaya Pencegahan HIV di Kalangan Pengguna Napza Suntik di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

RINGKASAN KAJIAN

Sejak UU RI No. 35 tahun 2009 disahkan, Indonesia mengkategorikan buprenorfin sebagai narkotika setelah sebelumnya zat ini dikategorikan sebagai psikotropika melalui UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Sesungguhnya buprenorfin merupakan opioid sintetik yang telah dikembangkan sejak 1960-an. Lalu dikenal sebagai obat pereda nyeri, terdaftar dengan merk Temgesic® pada tahun 1980-an. Dalam perkembangannya, obat ini mendapat izin untuk digunakan dalam perawatan ketergantungan opiat dengan merk dagang Subutex® di lebih dari 20 negara termasuk Perancis dan Inggris pada 1995, menyusul Australia pada tahun 2000. Zat berbentuk tablet yang dikonsumsi melalui penyerapan pembuluh darah bawah lidah (sublingual) ini, bersamaan dengan metadon, pada tahun 2004 ditetapkan oleh WHO sebagai terapi substitusi opioid (TSO), yaitu: pengalihan zat ke yang secara medis terkendali; serta pengalihan ke cara konsumsi opioid tanpa menggunakan alat suntik yang merupakan media penularan virus darah.

Saat jumlah kasus AIDS di Indoesia meningkat tajam di awal tahun 2000-an, dimana peningkatan tersebut berasal dari kelompok pengguna napza suntik (penasun), berbagai pihak yang telah berkecimpung dalam penanggulangan masalah-masalah napza dan HIV/AIDS turut ambil bagian dalam merespon situasi tersebut. Salah satu respon yang sudah cukup dikenal di berbagai belahan dunia terhadap situasi ini adalah melalui pengalihan penggunaan napza – TSO. Cara ini sudah dikembangkan sejak akhir 1970-an ketika di Eropa dan Amerika terjadi peningkatan tajam kasus AIDS di kelompok penasun. Indonesia mulai mengembangkan TSO sejak awal tahun 2000-an menggunakan metadon dan juga buprenorfin sebagai opiat substitusinya – walaupun kemudian kedua napza tersebut menempuh jalur yang berbeda dalam hal pengelolaan layanan kesehatannya.

Buprenorfin yang hanya dapat diakses di klinik atau tempat-tempat praktek dokter swasta dengan harga obat paten, tren penjualannya di Indonesia dilaporkan meningkat tiap bulannya. Bahkan untuk merk dagang Subutex® jumlah penjualan tahun 2005 meningkat lebih dari dua kali lipat daripada penjualan tahun sebelumnya. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008 melaporkan bahwa pengeluaran seseorang per tahun untuk konsumsi buprenorfin mencapai Rp 9,45 juta dengan harga pasaran Rp 26,250 per 2 mg. Para pengguna opiat, tidak untuk napza ilegal lain, adalah segmen dengan kebutuhan yang kini legalitasnya dapat dipenuhi melalui layanan kesehatan, menggunakan terapi substitusi napza. Hal ini menjadikan TSO sebagai amat prospektif memperhitungkan potensi pasar dalam negeri.

Untuk dapat “menembus” pasar Indonesia yang masih sangat luas tersebut, maka terhadap hambatan kaidah-kaidah manajemen terutama perencanaan serta pengorganisasian layanan kesehatan menggunakan psikotropika yang diatur dalam UU Psikotropika saat itu, sejumlah pihak menjadikan Keputusan Kepala BPOM tentang Pemasukan Obat Jalur Khusus yang disahkan awal 2002 sebagai celah agar buprenorfin dapat digunakan sebagai terapi ketergantungan opiat seperti di negara-negara yang telah dicontohkan di atas. Melalui kebijakan yang dikeluarkan Badan POM pasca aturannya mengenai pemasukan obat jalur khusus, layanan TSO buprenorfin tidak lagi menjadi kewenangan kementerian kesehatan maupun jajarannya di daerah, tidak juga Komisi Penanggulangan AIDS atas potensi pencegahan penularan HIV-nya, melainkan melalui layanan kesehatan swasta, pedagang besar farmasi, atau distributornya langsung dari dokter merujuk pada SK Kepala BPOM tentang Pengaturan Khusus Penyaluran dan Penyerahan Buprenorfin yang disahkan Desember 2002.

Lazimnya, sesuai tujuan pertama (dari tiga tujuan) UU Psikotropika juga UU Narkotika 1997 yaitu menjamin ketersediaan zat-zat tersebut untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, sebuah zat psikotropika dikelola oleh institusi-institusi negara yaitu mulai dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengawasannya sebagaimana diatur dalam UU yang bersangkutan. Namun buprenorfin pada akhirnya memiliki peraturan khusus sendiri sejak 2002. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari politik dagang pasca izin pemasaran yang didapat sebuah perusahaan farmasi multnasional bernama Reckitt Benckiser dari Food and Drug Administration di AS untuk merk dagang Subutex® dan Suboxone® pada 2002. Izin pemasaran tingkat internasional tersebut tentu membuat perusahaan lebih giat lagi memasarkan produk-produknya itu, termasuk ke Indonesia.

Harga yang tinggi atas hak paten yang dimiliki Reckitt hingga 2009 untuk kedua merk obat ini menjadi pertimbangan Kementerian Kesehatan RI dalam mengalokasikan anggaran pengembangan TSO buprenorfin terutama untuk merespon penyebaran HIV di kalangan penasun yang kala itu jumlahnya melebihi setengah dari seluruh kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia. Potensi untuk mengatasi permasalahan napza dan HIV yang dimiliki buprenorfin sebagai TSO memang cukup menjanjikan dibandingkan dengan metadon, walaupun belum dievaluasi secara sistematis dan seksama. Sejumlah kajian melaporkan adanya perubahan perilaku berisiko tertular HIV seperti perubahan dalam frekuensi penyuntikan, berbagi peralatan suntik, hingga tingkat serokonversi HIV pada pasien buprenorfin. Terlebih, sebagai sebuah zat psikotropika, merupakan mandat sebuah undang-undang bagi kementerian kesehatan untuk mengelola pelayanan yang menggunakan zat-zat tersebut.

Di sisi lain, Reckitt sebagai perusahaan pemegang paten dan izin pemasaran yang diperpanjang hingga 2012 membutuhkan konsumen yang lebih banyak. Maka kedua obat tersebut, yang hingga disahkannya UU narkotika baru pada tahun 2009 kategorinya adalah psikotropika golongan tiga, berhasil masuk dan dimanfaatkan sebagai obat yang berkhasiat khusus untuk ketergantungan opiat di Indonesia dengan sejumlah kebijakan yang diterbitkan oleh Badan POM. UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika diharapkan banyak pihak, termasuk nara sumber kajian, dapat mendorong pembenahan manajerial TSO buprenorfin dari hulu hingga hilir seperti yang telah dilakukan untuk metadon. Dan walaupun pihak layanan swasta beserta produsen juga berupaya agar para pasiennya mengikuti terapi sesuai prosedur terutama dalam hal penyuntikan yang berisiko menularkan HIV, namun sejumlah pasien tetap menyuntik. Termasuk saat produsen dan perhimpunan dokter adiksi menghentikan pemberian Subutex dan mendistribusikan Suboxone, tablet yang berdampak sangat tidak mengenakkan jika disuntikkan karena mengandung nalokson, antagonis opiat. Penyuntikan tablet buprenorfin ternyata bukan semata-mata karena komposisi obat yang juga mengandung antagonis dalam satu tablet atau tidak; lebih membahayakan atau tidak. Atas harga yang masih tinggi, banyak konsumen yang membeli tablet 2 mg lalu dibagi dua hingga empat untuk disuntikkan karena menurut mereka menyuntikkan 1 mg rasanya sama dengan meng-sublingual tablet yang 8 mg – walaupun banyak di antara mereka juga mengaku akan tetap menyuntik tablet buprenorfin 8 mg.

Atas temuan informasi yang kemudian diolah serta dianalisa, maka kajian ini menghasilkan tiga rekomendasi yang paling realistik untuk saat ini – terlebih penerapan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan program-program untuk penaggulangan AIDS sedang gencar dilaksanakan. Ketiga rekomendasi tersebut adalah:


  1. Membenahi pengelolaan TSO buprenorfin sesuai dengan UU yang berlaku, mengacu pada fungsi-fungsi manajemen tiap institusi (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan). UU Narkotika baru yang sedang gencar diterapkan dan dibuat peraturan-peraturan pemerintah di bawahnya dapat menjadi pendorong upaya pembenahan tersebut;
  2. Megintegrasikan TSO buprenorfin ke dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS, khususnya untuk program yang ditujukan bagi pengguna napza suntik (harm reduction);
  3. Mendorong produksi dalam negeri buprenorfin atas kebutuhan menurunkan penyebaran HIV di kalangan pengguna napza suntik dan memerangi pasar gelap narkotika opiat. Hal ini turut pula mempertimbangkan potensi pasar dalam negeri yang prospektif untuk layanan terapi substitusi opioid menggunakan buprenorfin, terlebih sejak 2009 hak paten dua merk dagang buprenorfin untuk terapi substitusi opioid tersebut telah kadaluarsa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselesaikannya kajian yang berlangsung di dua kota: Jakarta dan Surabaya ini. Ucapan terima kasih terutama kami tujukan kepada para pembimbing teknis kajian, yaitu Prof. Budi Utomo dan Ibu Amala Rahmah, serta Ibu Ratna Soehoed yang telah sangat membantu dalam hal administrasi.

Penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS selaku mitra kerja sama dalam kajian yang mengangkat masalah pengelolaan sebuah zat narkotika yang sangat potensial dalam mengurangi risiko penularan HIV dan Hepatitis C, terutama dalam hal penggunaan peralatan suntik secara bergantian yang pada periode 2001-2005 kelompok ini menyumbang lebih dari 50% seluruh kasus AIDS yang ada di Indonesia. Untuk itulah kemitraan antara Intuisi, Inc. dengan Sekretariat KPAN dibuat mempertimbangkan potensi penggunaan buprenorfin bagi program harm reduction yang hingga kini masih terus dikembangkan di lebih banyak wilayah di Indonesia.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada seluruh nara sumber yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk sebuah pengelolaan terapi substitusi opioid buprenorfin yang lebih baik di Indonesia. Pengalaman, pengetahuan, serta kisah-kisah lapangan yang terekam telah sangat memperkaya kajian ini yang menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang perlu dukungan baik dari nara sumber, institusi yang berwenang, serta sejumlah pihak terkait. Ke depan diharapkan tidak ada lagi pasien buprenorfin, keluarganya, serta masyarakat yang berhadapan dengan masalah hukum, kesehatan, atau sosial ekonomi terkait pemakaian napza yang diedarkan secara tidak bertanggung jawab di jalanan.

Kami sadar bahwa masih banyak pihak yang telah membantu kajian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu dalam ucapan terima kasih ini. Dan kamipun sadar bahwa kajian ini jauh dari sempurna, masih terus membutuhkan masukan serta kajian-kajian lebih lanjut mengenai manajemen layanan TSO buprenorfin dalam upaya penanggulangan AIDS dan permasalahan narkoba di Indonesia.

Jakarta, Mei 2011 

Sari Dewi Aznur

Intuisi, Inc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline