Berawal dari rasa penasaran saya terhadap perilaku anak-anak di lingkungan sekitar, timbul akhirnya tulisan ini dengan maksud untuk mengedukasi diri sendiri dan juga mengajak para pembaca untuk ikut merefleksikan diri tentang perilaku anak-anak negeri, penerus bangsa di masa depan nanti.
Mungkin tidak sedikit yang melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang bagaimana anak-anak jaman sekarang berperilaku terhadap sesama juga terhadap orang tua. Di internet, nampaknya sudah sering bermunculan berita mengenai anak-anak di bawah umur yang melakukan tindak tidak senonoh, tindakan keji yang merugikan banyak pihak, sampai-sampai ada pula yang berani habiskan nyawa seseorang yang usianya jauh di bawah mereka.
Kali ini, saya ingin berbagi tentang anak dan perilaku. Patut digarisbawahi bahwa apa yang saya tulis adalah campur tangan opini pribadi, beserta beberapa jurnal pendukung yang saya temukan selama menulis halaman ini.
Pada awalnya saya bertanya-tanya, apakah perilaku seorang anak adalah turun-temurun daripada kedua orangtuanya atau ada campur tangan dari lingkungan sekitar? Dan saya menemukan dua-duanya sebagai jawaban. Orang tua adalah gerbang utama bagi anak untuk mengenal dunia. Dari orang tua, mereka belajar berbicara, mereka meniru gerak-geriknya, dan mereka memahami sisi baik dan buruk dari orang tua masing-masing.
Ada beberapa fakta, dimana orang tua mempengaruhi perilaku anaknya. Penelitian juga menjelaskan bahwasanya anak-anak memahami perilakunya dengan belajar dari orang tua melalui modeling, reinforcement, dan punishment. Salah satu contohnya adalah anak yang tumbuh di sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kesopanan, memiliki empati yang tinggi terhadap sesama, akan mengikuti bagaimana perilaku orang tua mereka dalam memperlakukan orang lain. Ini termasuk bagaimana mereka bertutur kata yang baik, mengucap salam kepada yang lebih tua, dan tolong-menolong dengan teman.
Sementara anak yang tumbuh di dalam keluarga yang orang tuanya berperilaku buruk, tidak sopan, juga menjadi cerminan bagaimana anak-anak itu tumbuh menjadi figur yang tidak sopan terhadap siapa pun. Mungkin, beberapa pembaca di sini sudah tidak asing mendengarkan ada anak di bawah tujuh belas tahun, yang gaya bicaranya sudah melampaui umur, disisipkan pula kata-kata kasar dari berbagai macam bentuk dan rasa yang terkadang buat pendengar (terkhusus, saya) merasa tidak nyaman.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Developmental Psychology, menemukan bahwa orang tua yang membawa kesan positif dalam mendidik anaknya, akan menumbuhkan perasaan dan sikap positif kepada anak tersebut. Studi ini dilakukan kepada anak usia 3-5 tahun dalam rentang dua tahun penelitian dengan menggunakan berbagai macam cara pembelajaran.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua dengan praktik pengasuhan yang lebih positif mempunyai kontrol diri yang lebih baik daripada anak-anak yang memiliki orang tua dengan praktik pengasuhan yang kurang positif. Para peneliti juga menyimpulkan bahwa praktik pengasuhan positif dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan penting seperti pengendalian diri, perhatian, dan pengambilan keputusan.
Namun, lagi, saya bertanya-tanya. Bagaimana kalau nyatanya ada anak-anak yang memiliki orang tua dengan gaya asuh yang positif, tetapi memiliki anak yang tumbuh dengan perilaku kurang menyenangkan? Di zaman yang semakin canggih, ponsel pintar dan teknologi di dalamnya kemudian menjadi jawaban.
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan atau tidak tepat, seperti menonton video di YouTube yang tidak sesuai usia, dapat berdampak negatif pada perilaku anak-anak. Namun, penting untuk dicatat bahwa teknologi itu sendiri belum tentu menjadi penyebab masalah perilaku anak; sebaliknya, itu mungkin bisa menjadi faktor yang berkontribusi atau cerminan dari masalah yang mendasarinya.
Penelitian menemukan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan dapat dikaitkan dengan masalah seperti kurangnya waktu tidur, penurunan aktivitas fisik, dan prestasi akademik yang lebih rendah, yang pada gilirannya dapat menyebabkan masalah perilaku. Selain itu, paparan konten kekerasan atau tidak pantas secara online dapat membuat anak-anak tidak peka terhadap kekerasan dan mempromosikan perilaku agresif.