KONSEP KESEIMBANGAN
Teori Keseimbangan kekuatan ini menegaskan bahwa negara bangsa sebagai aktor yang rasional dalam sistem internasional yang anarkis, akan mengakumulasikan kekuatan guna menjaga pertahanan negara dan akan berusaha memastikan bahwa tidak ada aktor lain yang mengumpulkan cukup kekuatan untuk mengancam keamanan mereka. Morgenthau (1948, 1978) yang merupakan Bapak Realisme mengemukakan bahwa negara bangsa adalah aktor utama yang rasional dalam mengambil sebuah keputusan di panggung dunia, dan bahwa negara selalu mencari kekuatan dan kemampuan untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan nasional mereka yaitu pertahanan negara.
Keseimbangan terjadi atas perkembangan dari sifat anarkis dari sistem, menurut perspektif Realisme. Perspektif Realisme juga memiliki pendapat bahwa kekuatan pada umumnya diperoleh melalui kemampuan militer, sedangkan kekuatan ekonomi merupakan sesuatu yang penting, karena dapat memberikan nilai tambah bagi militerisasi. Maka, dua asumsi tambahan dimasukkan dalam gagasan realis. Pertama, adalah mencari kekuatan dapat dipandang sebagai permainan zero-sum di level internasional yang berarti bahwa akuisisi kekuatan oleh suatu negara akan mengorbankan kekuatan negara lain di dalam sistem. Kedua, agresi terhadap negara yang lemah diasumsikan sebagai perilaku negara yang kuat untuk mendapatkan kekuatan dan kapabilitas yang lebih besar. Dan, kedua asumsi tersebut adalah benar. Asumsi-asumsi tersebut melahirkan penalaran bahwa eksistensi pihak lemah---dan karenanya tak seimbang---di dalam sistem akan menyebabkan agresi di pihak yang kuat. Sehingga mengancam keamanan semua aktor.
Ketidakseimbangan sistem ini melahirkan sebuah sistem polaritas yang menyebabkan bentuk-bentuk keseimbangan dibagi menjadi beberapa macam bentuk seperti bipolar, multipolar, dan unipolar. Dan pada awal abad ke-18 konsep keseimbangan kekuatan menjadi bagian eksplisit dari diplomasi untuk semua kekuatan di Eropa.
Rosecrance (1963) menisbahkan bahwa sentralitas teori ini ialah tiadanya tendensi nasionalis kuat di banyak negara, lebih mahalnya perang total dibandingkan sumber daya negara yang terbatas, dan penggunaan apa yang dinamakan diplomasi rahasia (seperti penyuapan dan spionase) untuk memperoleh pengetahuan tentang kemampuan dan niat negara lain. Tantangan lain untuk konsep keseimbangan ini muncul pada abad ke-19 saat ekspansi kekuatan Perancis di bawah Napoleon Bonaparte. Dengan pengecualian Inggris dan Rusia, kebanyakan negara Eropa berada di bawah kontrol Perancis, ditekan agar beraliansi dengan Perancis, atau terlalu lemah untuk menghadapi ekspansi Perancis. Tetapi, kekuatan Perancis akhirnya dikalahkan oleh Rusia pada 1812, menimbulkan efek domino yang menyebabkan kekalahan Perancis secara umum sesudahnya. Sehingga muncul gagasan bahwa konsep keseimbangan harus dikembangkan lebih permanen dan terlembagakan.
Hasilnya adalah Concert of Europe, sebuah keseimbangan kekuatan multipolar antara Austria-Hungaria, Inggris, Prusia, Rusia, dan Perancis. Concert of Europe yang digadang-gadangkan sebagai suatu hasil kesepakatan yang lebih mumpuni daripada yang sebelum-sebelumnya mengalami kehancuran. Diawali dengan gelombang gerakan revolusi di Eropa pada 1848, lalu Perang Crimean 1854, menghantam kenyataan bahwa sistem keseimbangan kekuatan yang telah disusun dengan cermat dan dilaksanakan dengan susah payah selama beberapa dekade kini mulai jatuh dan hancur berkeping-keping. Perang yang terjadi pada masa itu mengubah lanskap politik di beberapa negara secara drastis, sebab perbatasan di tata ulang dan banyak negara kecil dimasukkan ke dalam negara besar. Faktor-faktor seperti berkembangnya nasionalisme dan dorongan Revolusi Industri mengintensifkan sifat tentatif dan longgar dari tatanan baru tersebut.
KONSEP DETERENSI
Deterensi secara formal dapat didefinisikan sebagai "penggunaan ancaman oleh suatu pihak untuk meyakinkan pihak lain agar menahan diri dari melakukan suatu tindakan" (Huth, 1999, hlm. 26). Pada level intruitif, logikanya cukup sederhana; cara terbaik mengatasi tindakan bully di sekolah adalah dengan meyakinkan para siswa bahwa siswa lain punya keinginan, kekuatan dan siap membalas jika mereka mengganggunya. Para pemikir terdahulu seperti Thomas Hobbes dan yang lainnya berpendapat bahwa unjuk kekuatan bisa menimbulkan rasa takut pada pihak lain dan mencegah agresi. Akan tetapi, karena deterensi hanya satu strategi sebelum Perang Dunia II, ide ini mencapai dampak maksimumnya dalam teori komunitas kebijakan sebagai konsekuensi dari era nuklir.
Teori deterensi muncul sebagai teori populer dan preskriptif dalam hubungan internasional di era 1940-an dan 1950-an, meski ia sudah ada dalam beberapa bentuk lain jauh sebelum era itu. Popularitas ini dapat dinisbahkan kepada sejumlah faktor, setidaknya pada fakta bahwa teori ini cocok dengan kerangka Perang Dingin, untuk memahami lingkungan internasional yang berubah dengan cepat. Adalah benar pula bahwa teori deterensi yang menekankan pada distribusi dan struktural kemampuan militer, diterima dengan semangat oleh para sarjana yang menganut paradigma realis pada saat itu.
Mungkin sarjana yang paling berpengaruh dalam studi deterensi saat itu adalah Thomas Schelling (1960, 1966), yang karyanya menggunakan teori permainan sepenuhnya ke dalam diskusi deterensi. Penekanan karya ini pada analisis biaya-manfaat strategis menjadi dasar konseptual untuk apa yang kelak disebut sebagai teori deterensi rasional (RDT). Karya Thomas Schelling, Arms and Influence, mengemukakan teorisasi taktik deterensi yang baik seperti pengiriman tanda dan manipulasi lawan dan berpengaruh signifikan pada bagaimana para sarjana selanjutnya akan mengorganisasikan riset mereka dengan fokus pada strategi-strategi yang akan menghilangkan ancaman militer atau bargaining yang sukses.
Dalam sistem internasional pasca-Soviet, pascabipolar, banyak yang bertanya apa peran deterensi nuklir dalam diplomasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Selain itu, saat struktur adikuasa pro status quo ambruk, demikian pula dengan perdamaian relatif yang diberikan oleh struktur itu sejak 1940-an. Beberapa sarjana, pengamat dan praktisi mulai bertanya apakah strategi deterensi dapat sukses menghadapi negara yang kasar dan penuh kekerasan etnis, atau apakah konsep itu akan segera usang kegunaannya.