Lihat ke Halaman Asli

Janji

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hening.

Pikiranku mengembara, bertugas memutar kenangan akan kamu secara sempurna. Tanpa peduli waktu dan situasiku berada, tanpa permisi dan meminta ijin terlebih dahulu pada segala aktifitas kantorku yang menuntut untuk segera diselesaikan. Kamu, sosok yang tak mampu dan tak ingin ku tepis meski hanya sesaat dalam setiap kegiatanku setiap harinya, selalu berhasil membuatku ingin meninggalkan sejenak aktifitasku hanya untuk mencipta sebuah karya tentangmu yang tak pernah aku harapkan apresiasi ataupun penilaian darimu maupun mereka. Sebab, hanya jika menulis tentangmu bahagiaku tak ternilai harganya.

Seperti ucapmu yang masih aku ingat dan enggan menguap dari setiap sel daya ingat yang bekerja dalam otakku, tentang sepi dalam hiruk-pikuk keramaian. Saat ini, disela aktifitas dan orang-orang yang beberapa menikmati pekerjaannya masing-masing, sementara beberapa yang lain asyik bercengkrama membahas topik yang bagiku tak ada yang jauh lebih menarik selain pembahasan topik tentang kamu, bolehkah ku artikan aku sedang sepi dalam keramaian? Ketika orang-orang disekitarku bisa berbagi cerita dengan seseorang lainnya, aku hanya terdiam mendengarkan hati dan pikiran yg berbicara. Mereka bercengkrama dan berdebat tentang kamu.

Tentangmu, aku tak pernah kehabisan kata. Namun tak juga dapat dengan mudah tumpah melalui pena sehingga tersusun karya yang kuharap ada secuil senyummu singgah meski hanya sesaat saja. Tapi percayalah bukan agar kamu membacanya maka aku menulis, melainkan dengan tulisan aku menjadikannya sarana untuk menumpahkan rinduku yang semakin sesak jika hanya ku pendam sendirian.

Melalui doa yang ku panjatkan pada Tuhan agar kamu baik-baik saja, dan kepada semesta ku titipkan rindu yang sesak membuncah namun kunikmati rasanya. Bayangmu yang muncul tanpa peduli waktu selalu berhasil membuatku terbius, kali ini mengingatkanku akan janji kita tepat ditanggal yang sama kala itu. Layaknya pada pilihan baik dan lebih baik. Bertahan atau menyerah. Menunggu sekarang, atau menunggu lebih lama. Semua ada waktunya, setiap proses yang terjadi melibatkan kamu selalu kunikmati bahkan setiap rasa sakitnya. Rasa ini terlalu luarbiasa, sehingga orang biasa sepertiku tak dapat mengelak meski selalu berusaha untuk istirahat sejenak, memikirkan lebih dalam lagi akan keputusan menunggu.

Kita telah berjanji, bukan untuk selalu bersama. Tapi berjanji untuk saling mengerti dan menjaga rasa yang telah dan masih ada sampai saat dimana kita berjanji pada waktu itu. Perihal sampai kapan rasa itu ada dan tinggal menempati setiap sudut hati kita, kamu hanya memintaku untuk baik-baik saja. Kita memikirkan masa depan, tapi kamu tidak mengajariku berjanji akan masa depan. Tidak seperti mereka-mereka diluar sana yang dengan mudahnya berkata janji untuk selalu bersama, untuk selalu bertahan dalam keadaan susah maupun senang, atau ribuan kata dengan janji-janji muluk yang terkesan sesaat dan terlalu dibuat-buat.

Kamu mengajariku berjanji pada apa yang sedang kita jalani, bukan apa yang akan kita jalani. Seperti ucapmu, kamu takut mengumbar janji jika tak mampu menepati. “Kita baik-baik ya, apa yang akan terjadi nanti biar kehendak Tuhan yang jadi”, janjimu padaku. Janji yang paling manis yang pernah kita sepakati. Dengan lengkungan senyum indah pada bibirmu yang tak pernah membuatku tak terpesona melihatnya, kamu mengajakku berjanji menikmati hari.

Awalnya aku ragu, terlalu banyak tanda tanya di otakku akan tujuanmu mengajariku berjanji seperti itu. Tapi kini, setelah sekian hari yang terlewati dengan janji kita untuk menikmati hari, aku teringat lagi akan janji itu. Senyumku merekah, aku mulai menyadari jika kita berjanji layaknya pasangan diluar sana, mungkin aku akan terjebak pada suatu kesia-siaan seperti mereka yang patah karena janjinya. Kesia-siaan dalam menunggu dan membunuh waktu hingga janjinya terealisasi.

Terimakasih telah mengajariku berjanji. Janji ditanggal yang sama pada waktu itu. Berjanji untuk menikmati setiap detiknya tanpa berjanji akan masa depan. Karena pada akhirnya, di masa depan sekarang ini, aku jadi lebih mengerti mengapa dulu aku masih menunggu. Dan kini, aku masih menunggu agar dua manusia itu kembali bisa berjanji untuk menepati janji-janji yg pernah dijanjikan dulu hingga saatnya mereka siap berjanji dihadapan Tuhan dengan atau tanpa tangan yang saling menggenggam saat mengucapkan janji suci. Baik-baik yaa :)



NB: tapi kamu punya janji yang harus segera ditepati.. Betternyaaa manaaaa???




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline