Siswa SD yang menyatakan Makan Bergizi Gratis (MBG) ayamnya kurang enak secara spontan adalah pernyataan "jujur". Tidak ada skenario apalagi ditunggangi unsur politik dan lainnya. Sementara yang menanggapi dan menyebut "pea" pendek akal, apakah karena dirinya yang pea atau karena ada kepentingan lain?
(Supartono JW.21012025)
Kini, di +62 masih viral kata "pea" yang meluncur dari mulut seseorang yang dialamatkan kepada siswa SD yang komplain karena menu makan bergizi gratis (MBG) kurang enak. Apakah kata pea pantas? Etis dan bernilai moral? Disampaikan oleh manusia dewasa dan ditujukan kepada anak SD yang masih "polos?"
Pea, itu ...
Kata pea, tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun, dari berbagai literasi, dalam bahasa gaul, pea itu adalah singkatan dari pendek akal yang sesuai KBBI, artinya kurang luas pikiran, pengetahuan, dan sebagainya, picik (tidak luas, sempit).
Dengan arti tersebut, kata pea juga dapat dimaknai kasar sebagai bodoh/bego/bloon/goblok/tolol/lemot, atau sok tahu.
Pea, momentum, skenario basi
Mengapa si pengucap harus memilih diksi pea? Entah karena si pengucap kondisinya juga "pea", jadi sangat mudah mengatai seorang siswa pea? Atau si pengucap tidak pea, tapi memang memanfaatkan momentum demi mencari keuntungan pribadi, karena pendapatan untuk biaya hidupnya, di antaranya juga dari media sosial (medsos).
Karenanya, saat ada siswa yang komplain MBG-nya tidak enak, langsung mengambil kesempatan dengan melontarkan opini. Nah, opini yang di pilihnya, adalah yang langsung pasti tembus, "pecah" menaikkan/mengangkat diri. Meski harus kasar, angkuh, dan arogan.
Jujur, bagi saya, mengambil momentum demi menaikkan diri di medsos demi keuntungan pribadi dan mencari muka, itu skenario "basi", yang sangat mudah "dibaca arahnya".
Ini setali tiga uang dengan manusia Indonesia lainnya, yang mencari makan juga dari media dan medsos, tidak berhenti "memusuhi" pelatih sepak bola, meski pelatihnya sudah dipecat.