Sebagai olahraga yang dicintai dan digemari rakyat Indonesia, seharusnya sepak bola dapat dijadikan "alat" untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, di saat pendidikan Indonesia terus terpuruk. Miris, menyedihkan, memprihatinkan, ternyata ada, yang justru menjadikan sepak bola, "alat" untuk mewujudkan ambisi pribadi/kelompok/golongan dengan memberikan contoh buruk "pendidikan", yaitu membela dan membenarkan perbuatan yang salah dan buruk: "Murid boleh melawan/menentang/mengatur Guru=Pelatih". Caranya, jauh dari adab.
(Supartono JW.15012025)
Pengamat pendidikan nasional
Pengamat sepak bola nasional
Maaf, sebab terkait pemecatan terhadap Shin Tae-yong (STy) yang dianggap tidak beradab oleh masyarakat yang paham tentang adab, masih terus menjadi bahan berita di media massa dan medsos. Yang melakukan tindakan tidak beradab, hingga detik ini malah sibuk mencari pembenaran, bukan meminta maaf secara terbuka kepada STy atau masyarakat.
Di sisi lain, penyambutan kedatangan pelatih baru, dengan cara yang luar biasa. Demi mewujudkan drama ambisi yang menghalalkan tindakan tak beretika sebelumnya. Semakin membuat rakyat Indonesia yang tahu adab, berkurang simpati dan rasa memilikinya terhadap "Timnas Diaspora Momentum".
Sepak bola, pendidikan karakter
Saat pendidikan Indonesia terus terpuruk, tercecer dari negara-negara Dunia, Asia, bahkan di Asia Tenggara, seharusnya olahraga sepak bola, yang menjadi olah raga paling digemari di seluruh rakyat seantero negeri, dapat membantu mendidik anak-anak Indonesia yang nampak lebih suka bermain sepak bola dibanding berada di dalam kelas pendidikan formal. Di luar kelas/sekolah/kampus, gemar tawuran, dll.
Keberadaan sepak bola, benar-benar dapat dijadikan alat untuk membantu pendidikan formal dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati. Pasalnya, para elite dan pemimpin negeri masih banyak yang gagal menjadi teladan bagi rakyat.
Bahkan di antara mereka, malah hanya menjadikan sepak bola untuk kendaraan politik pribadi, dinasti, oligarki, dll. Padahal, seharusnya, Pemerintah dan PSSI, dapat memanfaatkan sepak bola untuk membantu membentuk karakter manusia Indonesia yang masih memprihatinkan.
Sebab, di dalam sepak bola, ada jutaan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, ada ribuan wadah sepak bola akar rumput yang menjadi pondasi sepak bola nasional yang juga menampung jutaan anak-anak usia dini dan muda. Ada klub-klub resmi Anggota Askot/Askab. Ada Klub Liga 4 di bawah naungan Asprov. Dan, ada Klub Liga 3, Liga 2, dan Liga 1 di bawah naungan langsung PSSI.
Kira-kira ada berapa jumlah anak usia dini, usia muda, pembina, pelatih, ofisial, dan semua pihak/masyarakat, media massa, media sosial, dll yang terkait dengan sepak bola, dan menjadikan sepak bola tempat mencari makan?
Miris, Menyedihkan, memprihatinkan
Sayang seribu sayang, sebagai olahraga yang dicintai dan digemari rakyat Indonesia, seharusnya sepak bola dapat dijadikan "alat" untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, di saat pendidikan Indonesia terus terpuruk. Miris, menyedihkan, memprihatinkan, ternyata ada yang justru menjadikan sepak bola, "alat" untuk mewujudkan ambisi pribadi/kelompok/golongan dengan memberikan contoh buruk "pendidikan", yaitu membela dan membenarkan perbuatan yang salah dan buruk: "Murid boleh melawan/menentang/mengatur Guru=Pelatih". Caranya, jauh dari adab. Maksud murid adalah pemain Timnas. Dan, guru adalah pelatih Timnas.