Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Apakah Saya Orang yang Respeknya Sehat atau Sakit?

Diperbarui: 28 Desember 2024   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Supartono JW


Refleksi 2024 (7)

Apakah Saya, Orang yang Respek?

Bila sudah berupaya menjadi orang yang selalu membutuhkan, menjadi pribadi yang realistis dan rasional, tidak egois karena selalu menjaga dan merawat (jasmani, rohani, SQ, IQ, EQ), tidak sombong, berupaya low profile dengan terus belajar dan mengembangkan soft skill,  terus membenahi diri menjadi makhluk sosial, tetapi tetap ada orang yang tidak respek/mengormati, maka teruslah bercermin, merefleksi diri, memperbaiki diri atau segera menyadari bahwa kita, ternyata sedang berhadapan dengan bukan makluk sosial tetapi "makhluk sakit", salah satunya berkarakter "tidak respek".

(Supartono JW.29122024)

Miskinnya keteladanan para pemimpin negeri dan yang merasa kelompok elite karena kedudukan, jabatan, dan kekuasaan, membuat rakyat bersikap antipati. Antipati adalah perasaan tidak suka atau penolakan yang kuat terhadap seseorang atau sesuatu.

Oleh sebab itu, sikap antipati ini pun berkembang menjadi sikap tidak respek, yang semakin mendarah daging pada sebagian besar rakyat +62. Sikal respek yang seharusnya ada dalam diri setiap manusia, menjadi barang langka di Indonesia. 

Terlebih, dunia terlelap oleh zaman digital dan media sosial (medsos), yang semakin menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan. Menjadikan manusia tidak lagi beradab, mengabaikan, bahkan menanggalkan etika dan moral.

Respek yang sakit

Kini, perbuatan manusia, meski sedang mengobrol atau berdiskusi, malah tetap asyik memainkan gawai/gadget, tidak ada respek kepada lawan mengobrol/diskusi, sudah menjadi pemandangan biasa.  Dalam Grup WhatsApp (WA) pekerjaan, organisasi, kekeluargaan, kelompok, dan lainnya, yang fungsinya formal, karena Grup WA menjadi pusat informasi utama kegiatan, tetap saja ada anggota resmi grup yang mengabaikan pesan. Padahal pesan di grup sangat penting. Dishare oleh admin atau manajemen. Butuh respon, butuh jawaban anggota. Tetapi yang terjadi, anggota membaca informasi, tetapi tetap mengabaikan apa yang diharapkan dari informasi yang dishare. Sepertinya, anggota grup salah masuk grup dan kondisi mentalnya "sakit". Terlalu lemah kecerdasan spiritualnya (SQ), intelegensinya (IQ), dan personalitynya (EQ).

(Supartono JW.29122024)

Bagaimana dengan perilaku orang-orang yang nge-chat personal/jaringan pribadi (japri) bila di jaringan grup resmi saja tidak merespon/menjawab? He he...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline