Saat publik sepak bola nasional haus prestasi, gayung pun bersambut. Ketua Umum PSSI pun adalah orang yang haus prestasi. Maka, demi prestasi itu, cara INSTAN pun ditempuh, karena memiliki "modal" untuk "membayar" keinstanan itu.
Publik sepak bola nasional pun girang, setelah pencapaian-pencapaian yang saya sebut fantastis, Timnas di tangan Shin Tae-yong (STy) dengan bumbu utama instan itu, terbaru, Garuda mampu menahan imbang Arab Saudi di laga ronde 3 Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Selanjutnya, dengan "TAJUK INSTAN", STy akan kembali coba unjuk gigi di mata publik sepak bola dunia, di laga kandang versus Australia. Bahkan, di sela persiapan hadapi Australia, publik sepak bola nasional juga sudah mendapatkan berita bahwa program instan itu terus bergulir.
Memang, keinstanan itu dilakukan sesuai prosedur dan regulasi/statuta FIFA, tetapi yang namanya instan, di dalam pikiran dan hati sanubari terdalam, tetap saja kurang membuat nyaman. Karena tidak berjuang dari nol. Dari bawah dengan kekuatan kaki dan tangan sendiri. Sekadar memanfaatkan situasi dan regulasi, memanfaatkan perjuangan berdarah-darah pihak lain, bangsa lain.
Reaksi publik
Atas kesuksesan instan itu, dalam diskusi di salah satu televisi Indonesia, Minggu petang (8/9/2024), ada nara sumber yang "pengamat sepak bola nasional" dimintai pendapat pribadinya, apakah bangga dengan kondisi Timnas Indonesia terkini? Jawabnya: "Tidak Bangga." Karena Erick melupakan sepak bola akar rumput sebagai pondasi Timnas. Siapa saja kalau "punya modal" bisa saja mencari prestasi instan. Tetapi, bila "modal dan kedudukannya usai" apakah penerusnya bisa melanjutkan yang instan, bila tidak memiliki modal?".
Kasus instan sepak bola Indonesia di tangan Erick Thohir dan STy ini, siapa publik sepak bola dunia yang kini tidak tahu? Di Asia Tenggara, Vietnam, Thailand, dan Malaysia adalah 3 negara yang paling gencar menyindir Indonesia baik via media massa mau pun medsos.
Bahkan, demi prestasi dunia, peribahasa ibarat anjing menggonggong, kafilah berlalu, pun dipakai.
25 tahun saya mencatat
Bila dalam tempo singkat Erick Thohir yang bergelimang "amunisi dan modal" terus berproses dengan keinstanannya, maka selama 25 tahun saya sudah membuat ribuan catatan "artikel/opini" tentang sepak bola nasional. Tentang Timnas dan siapa pondasinya, yaitu sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) dengan wadah yang terus "diabaikan" keberadaan, status, dan kedudukannya, yaitu Sekolah Sepak Bola (SSB).
Perjalanan SSB di Indonesia sejak Juli 1999-Juli 2024=25 tahun (seperempat abad).
Sebelum nama SSB digaungkan, diresmikan, dan diterima keberadaannya oleh PSSI sebagai bagian dari wadah pembinaan pemain sepak bola akar rumput (usia dini dan muda), sejak sekitar Maret 1999, Direktur Pembina Usia Muda PSSI, Ronny Pattinasarany, di bawah Ketua Umum PSSI Agum Gumlar, sudah menjalin komunikasi dengan beberapa tim yang membina pemain usia dini di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok.