Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Antara +62, Revolusi Prancis, Guillotine, Marie Antoinette, dan Tone Deaf

Diperbarui: 26 Agustus 2024   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Kompas.com


Sejak "Peringatan Darurat" menggema di seantero negeri, akibat perbuatan "tercela" coba-coba membangkang kepada putusan Mahkamah Konstitusi  (MK).

Lalu, ada sandiwara lucu, kisahnya mudah di tebak karena rakyat marah. Si pembangkang pun "seperti kerbau dicucuk hidung", menuruti kehendak rakyat, tanpa membantah, karena bodoh atau karena tidak berdaya melawan.

Viral "tone deaf"

Seiring sejalan dengan kisah pembangkang yang akhirnya seperti kerbau dicucuk hidung, (baca: rakyat tetap waspada), di negeri ini, berlanjut pada viralnya pembahasan tentang perilaku yang cirinya seperti perangai "tone deaf".

Tone deaf adalah situasi ketika seseorang tidak peka terhadap perasaan orang lain atau apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Arahnya ditujukan kepada anak dan menantu Jokowi.

Bahkan akibat perilaku tone deaf yang sangat kontras dengan keadaan di Indonesia, sampai-sampai perilaku orang tersebut disejajarkan dengan Ratu Marie Antoinette. Siapa orang itu, di media massa dan media sosial (medsos) sangat mudah dilacak jejak digitalnya.

Catatan "agak lain"

Gara-gara disebut nama Ratu Marie Antoinette, saya pun teringat cerita tentang Marie Antoinette, dalam pelajaran sejarah dan yang saat itu saya dapatkan langsung di Muesum Louvre, Paris, Prancis, pada 28 Juli 2023.

Meski pada tanggal tersebut, seharian, cukup banyak tempat yang saya kunjungi di Paris, tetapi kisah Marie Antoinette yang saya anggap "agak lain", cukup lekat menempel di pikiran dan hati saya sampai sekarang. Sebab, catatannya saya tulis di Buku Harian Perjalanan saya.

KENANGAN PERJALANAN: Kamis, 28 Juli 2011, rasanya paling sulit terlupakan, meski seluruh perjalanan ke Benua Biru tak ada yang dapat dilupakan. Apalagi bila saya buka catatan perjalanan dan foto-foto kunjungan itu. Di sana tertulis:

"Hari ini. Paris. Pagi-siang, susuri jalan kota, potret kota dari Menara Eiffel, sisir aliran sungai Seine, dan ditutup makan siang di resto Chinois Thailandais. Siang-sore, kunjungi Musium Louvre: bercengkrama dengan lukisan Monalisa, dengarkan kisah Marie Antoinette "agak lain". Memandangi Notre Dame Cathedral. Cuci mata dan cuci gudang di Galeries Lafayette. Dan, santap malam di Chines Resto. Malam, Istirahat di Residhome. Alhamdulillah, tetap bugar." (Supartono JW. Paris28072011).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline