Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Hardiknas Ke-65, "Melanjutkan Merdeka Belajar?"

Diperbarui: 2 Mei 2024   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Grid ID


Sebelum "berangkat", kita tahu masih banyak hutang dan persoalan yang belum kita selesaikan, belum kita tuntaskan. Yakinkah kita akan tetap "melanjutkan" berangkat? Tidak membayar hutang dulu, tidak menyelesaikan persoalan dulu?

(Supartono JW.02052024)

-----

Pekan-pekan ini, saya "membaca" kegelisahan para orang tua, menyoal Uang Kuliah Tunggal (UKT) di negeri +62, yang seolah bisa seenaknya dilakukan oleh Kampus. Apakah ini kado manis bagi orang tua disaat Hari Pandidikan Nasional, sudah masuk peringatan ke-65? Sebelumnya carut marut PPDB menjadi barang klasik. Miris. Bagaimana ini, Nadiem?

------

Sesuai penetapan yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959, 2 Mei 2024 adalah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ke-65. 

Dikutip dari laman resmi Kemendikbud, peringatan  Hardiknas ke-65, mengusung tema "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar". Bersamaan dengan Hardiknas, Kemendikbud juga mencanangkan 2 Mei sebagai bulan Merdeka Belajar. 

Tema Hardiknas ke-65, rupanya, kelanjutan dari tema Hardiknas ke-64 "Bergerak Bersama, Semarakkan Merdeka Belajar". 

Pertanyaannya, apakah tema peringatan Hardiknas ke-64 di 2023 benar-benar telah membuat Merdeka Belajar, semarak? Rasanya belum. Bahkan Merdeka Belajar masih menyisakan masalah, terutama pada aktor utamanya, yaitu ujung tombaknya yang bernama guru. 

Pasalnya, bagaimana guru dapat menyemarakan merdeka belajar, sementara guru masih berkutat pada masalah yang sama, yaitu masalah kompetensi. Merdeka belajar, malah menambah beban guru, karena bicara merdeka belajar, yang langsung terpikir adalah "administrasi". Alias, guru malah disibukan oleh administrasi mengajar, bukan sibuk kreatif dan inovatif dalam hal mendidik.

Akibatnya, hanya berapa persen guru berbagai level di Indonesia yang terkatogori memenuhi syarat kompeten (cek BPSI), lalu tidak menganggap merdeka belajar membebani dan menjadikan guru sekadar "tukang administrasi".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline