Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Setop Menjadi Pengamat/Komentator Sepak Bola "Tengil"

Diperbarui: 24 April 2024   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Supartono JW

Bila apa yang kita tulis, bicarakan, dll adalah hal yang benar, berdasarkan atas asas-asas ilmiah, sesuai aturan alam (Tuhan) dan manusia, disampaikan dengan cara yang cerdas, sopan, santun, benar, dan baik, tentu tidak akan menimbulkan polemik.


(Supartono JW.24042024)

Berangkat dari aktif menulis artikel pendidikan dan sastra, lalu menjadi pengamat pendidikan, karena profesi profesional saya sebagai praktisi pendidikan dan teater.

Lalu, memiliki bekal sebagai praktisi sepak bola dan lisensi pelatih sepak bola. Kemudian mendirikan dan memiliki SSB dan FC, saya pun diminta oleh rekan wartawan olah raga, agar ikut menyumbangkan pemikiran tentang sepak bola di Indonesia, saat suatu ketika saya ikut menyumbangkan pemikiran untuk sepak bola akar rumput dalam Diskusi Pelatih Sepak Bola Akar Rumput yang digagas PSSI zaman Agum Gumelar, di Jakarta, 1999.

Akhirnya, saya pun ikut tercebur dalam hiruk-pikuk sepak bola nasional yang tidak pernah beranjak dari persoalan, masalah, dan benang kusut.

Berikutnya, saat saya sudah menjadi kolumnis sepak bola di Tabloid GO, lalu dianugerahi title pengamat sepak bola nasional oleh redaksi, bukan ngaku-ngaku dan membuat julukan sendiri sebagai pengamat, hingga periode tahun 2020an. Rasanya, saya belum pernah menemukan pengamat sepak bola yang saya bilang "tengil", menyebalkan sikap dan kelakuannya. Terlalu dalam mengkritik pelatih nasional.

Seolah si pengamat tengil ini adalah seorang jagoan dan pahlawan yang tahu segalanya tentang sepak bola.

Saya mengukuti pergerakan pengamat yang saya bilang "tengil" ini, terus berstatmen seperti orang berhutang tetapi tidak ada modal untuk membayar hutang. Yang ada hanya gali lubang tutup lobang.

Lebih jauh, saya juga telusuri profil pengamat "tengil" ini, proses menjadi pengamat sepak bolanya, belum pernah menjadi praktisi sepak bola (baca: bukan pemain sepak bola). Pun tidak menempuh jalur pendidikan formal yang terkait sepak bola atau humaniora.

Jujur, sebagai pengamat sepak bola sekaligus pengamat pendidikan, saya prihatin melihat perilaku pengamat tengil ini. Seolah terus mencari perhatian. Mencari panggung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline