Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bila dalam Pemilu, Syarat Pemilih Memiliki: Surat Izin Memilih (SIM)

Diperbarui: 20 Februari 2024   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Supartono JW

Andai dalam Pemilu, meski Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial, syarat rakyat yang memiliki hak pilih tidak sekadar minimal sudah berusia 17 tahun, tetapi mengantongi Surat Izin Memilih (SIM) dalam Pemilu melalui tes, sepertinya pemenang Pemilu akan mendapat suara dari pemilih yang obyektif, karena pemilih telah teruji lulus tes. Harapannya cerdas intelegensi dan personality.

(Supartono JW.19022024)

Mengendarai motor, mobil, dan lainnya, ada peraturannya. Pengendaranya wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Menempuh pendidikan, juga berjenjang. Tidak bisa seorang anak langsung masuk SMP/SMA/bangku kuliah. Anak bersangkutan, minimal wajib sudah lulus SD (memiliki ijazah SD), dan seterusnya.

Mau bekerja, juga ada syaratnya. Ada tes dan ujiannya. Sudah bekerja, kena pajak penghasilan.  Mau naik alat transportasi umum, menonton pertunjukan dan lainnya, harus memiliki tiket (membayar). Memiliki ini dan itu ada pajaknya.

Artinya, hampir di semua hal dan persoalan kehidupan, ada syaratnya.

Pertanyaannya, mengapa pemimpin negeri/provinsi/kabupaten/kota, dengan sistem pemilihan langsung, model pemerintahan Presidensial, Presiden yang akan memimpin negara, justru dipilih oleh rakyat dengan syarat yang sangat mudah?

Minimal sudah berusia 17 tahun, maka setiap rakyat memiliki hak/suara untuk memilih presiden? Tidak peduli apakah si rakyat berpendidikan atau tidak. Miskin intelegensi dan miskin personality atau tidak.

Bahkan, rakyat kebanyakan malah hidup berkubang paket kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan. Sehingga, rakyat yang demikian adalah makanan empuk bagi yang memiliki kekuatan, kekuasaan, dan kepemimpinan?

Lebih miris, paket kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang merupakan peninggalan akal licik penjajah kolonialisme, justru diteruskan oleh penjajah baru, penjajah pribumi yang "takut kehilangan bukan milik." Mempertahankan dan melangengkan kekuasaan dengan politik dinasti dan oligarki.

Di sinilah sejatinya, satu di antara letak masalah benang kusut, mengapa setiap Pemilu ada kecurangan secara terstruktur, tersistem, dan masif. Sebab, rakyat yang tetap dibuat masih bodoh, miskin, dan menderita, adalah aset untuk mendulang suara bagi si penjajah pribumi itu.

Karenanya, sulit untuk dicari letak kecurangan dalam Pemilu, bila faktanya, rakyat yang masih bodoh, miskin, dan menderita, diberikan hak untuk ikut mencoblos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline