Ingatlah selalu kebaikan orang lain. Meski kebaikan itu hanya sekadar senyum, tegur sapa, masukan, dan nasihat. Apalagi bila sudah dalam bentuk bantuan, pertolongan, bimbingan, tuntunan, pendidikan, sampai dalam bentuk pinjaman, dll. Sadarkah kita, karena kebaikan-kebaikan itu, membuat diri kita dapat berdiri dan survive dalam kehidupan ini?
(Supartono JW.10122023)
Bersyukur dan berterima kasihlah kepadaNya dan mereka-mereka atas kebaikan-kebaikan yang telah dicurahkan. Bukan sebaliknya, malah menghitung-hitung kebaikan-kebaikan kita untuk orang lain, yang artinya tidak ikhlas.
(Supartono JW.10122023)
Orang-orang yang terdidik, cerdas intelegensi dan personality, tentu akan kaya pikiran dan kaya hati. Pandai bersyukur serta rendah hati.
Karenanya yang ada di dalam pikiran dan hatinya akan selalu mengingat kebaikan orang lain. Bukan sebaliknya mengingat kebaikan dirinya untuk orang lain.
Bila selama ini ungkapan "belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu, sedangkan belajar sesudah besar bagai melukis di atas air" maknanya usia dini adalah masa keemasan seseorang untuk mempelajari dan menghafal segala hal, maka terkait mengingat kebaikan orang lain, dapat meminjam ungkapan tersebut menjadi:
"Segala kebaikan yang kita dapat dari orang lain, tulislah di atas batu. Segala kebaikan yang kita berikan untuk orang lain, tulislah di atas air.
Itu adalah paradigma yang wajib kita tancapkan dalam pikiran dan hati kita agar dalam kehidupan ini, lebih fokus mengingat kebaikan orang lain, dari pada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain.
Lalu, kita jadi berhitung dan berharap orang yang telah kita bagi kebaikan menjadi orang yang tahu diri. Tahu berterima kasih. Tahu membalas budi.
Apakah dengan berhitung dan berharap atas kebaikan yang telah kita lakukan, akan berbalas menjadi pahala dan menjadi berkah bagi kita?