Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Di +62 Banyak Anak Banyak Rezeki, di Paris Punya Anak Biaya Mahal!

Diperbarui: 19 November 2023   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Gird.Id

Saat membuka salah satu halaman catatan harian saya, tertulis: "Hari ini. Paris. Pagi-siang, susuri jalan kota, potret kota dari Menara Eiffel, sisir aliran sungai Seine, dan ditutup makan siang di resto Chinois Thailandais. Siang-sore, kunjungi Musium Louvre, bercengkrama dengan lukisan Monalisa, memandangi Notre Dame Cathedral, cuci mata dan cuci gudang di Galeries Lafayette, dan santap malam di Chines Resto. Malam, Istirahat di Residhome. Alhamdulillah, sangat mengesankan. Mimpi yang terwujud." 

(Supartono JW. Paris28072011)

Catatan itu, selalu akan menjadi noktah perjalanan yang mengesankan, tidak lekang oleh waktu dan zaman. Di sisi lain, mengingat perjalanan di Paris, ada kisah yang juga tidak kalah mengesankan, yaitu menyoal tentang pemandu wisatanya.

Ringkas kisah, selama tiga hari di Paris, saya dan rombongan perjalanan, dipandu oleh seorang pramuwisata/pemandu wisata/tour guide asli orang Paris, Prancis. Sebut saja namanya Mrs. A. Menariknya, Mrs. A. Ini, ternyata dalam komunikasi tidak membolehkan saya berbicara dengan bahasa lain, selain bahasa Indonesia. Pasalnya, Mrs. A. sedang dalam Program melancarkan Kemampuan Komunikasi dengan Bahasa Indonesia.

Mrs. A. Sudah menikah dengan laki-laki bukan warga negara Prancis. Namun, yang unik, ternyata Mrs. A. dia dan suaminya tidak merencanakan untuk memiliki keturunan/anak. Bahkan, rekan-rekan di tempat kerjanya, yang sama-sama menjadi pemandu wisata, juga tidak ada yang menikah untuk memiliki anak. Rencana tidak memiliki anak, sudah dibicarakan kepada pihak keluarga masing-masing, sebelum mereka menikah. Mengapa? Jawabnya, simpel. Punya anak di Paris, biaya mahal. Penjelasannya panjang, saya catat. Apakah setelah 12 tahun, kisah ini masih berlaku di Paris? Ini kisah yang menarik bila dibaca oleh masyarakat Indonesia, mungkin?

Sebab, di Indonesia, kata orangtua zaman dulu, mungkin sampai sekarang, "Banyak anak, banyak rezeki". He he... . Mungkinkah ini karena kendala pendidikan? Atau lainnya? Bagaimana pemerintah?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline