Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Tebar Ikaga, Sebuah Alternatif Cara Berbakti kepada Almamaternya, untuk Pendidikan di Indonesia

Diperbarui: 27 September 2023   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Supartono JW

Setiap institusi pendidikan dapat dikatakan berhasil mencerdaskan intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajintif, dan iman (ISEAKI) peserta didiknya, indikatornya adalah adanya alumni yang tahu diri, mau meluangkan waktu untuk acara reuni, peduli terhadap kegiatan reuni, tahu cara membalas budi, tahu caranya berterima kasih, tahu caranya berbakti kepada almamaternya, karena cerdas berbudi dan rendah hati.

(Supartono JW.27092023) Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan sastra. Pengamat sepak bola nasional

Kendati kehadiran media sosial (medsos), dunia digital, dunia maya, telah memudahkan manusia dapat saling berkomunikasi dan bertatap muka secara daring, pertemuan tatap muka secara langsung tetap lebih tinggi nilai humanioranya.

Mentalitas generasi digital bar-bar

Terlebih, sangat mudah ditemukan di dalam grup-grup media sosial, manusia-manusia dengan mentalitas generasi digital, karena tersembunyi di balik layar, berani tampil dan bicara tanpa etika, kasar, tanpa sopan santun, sok tahu, merasa yang paling hebat, merasa yang paling benar dan lainnya. Tak ubahnya sebagai manusia tidak beradab, manusia bar-bar.

Sampai detik ini, apakah pemerintah dapat menangani mentalitas generasi bar-bar itu? Apakah para manusia yang dibayar mengaduk-aduk pikiran dan hati manusia +62 sampai pada titik memecah belah bangsa, dengan produk kata dan kalimatnya di medsos terutama dalam urusan politik, ditangani? Faktanya, sepertinya yang manusia yang begitu itu, justru memang dibayar karena ada skenario dari pihak yang menugaskan. Mereka para penebar kisruh ini, sampai detik ini, masih aman dan nyaman hidup di bumi nusantara. Keren. Mereka terus meneladani manusia Indonesia lainnya, menjadi generasi mentalitas digital yang bar-bar.

Akibatnya, di dunia digital, tidak lagi nampak perbedaan, mana manusia-manusia yang sudah terdidik, mana manusia-manusia yang belum terdidik. Mana manusia yang memiliki kedudukan kekuasaan, jabatan. Dan mana manusia rakyat jelata yang terdidik dan tidak terdidik. Semuanya mudah sekali terbawa arus bar-bar, bahkan sampai masuk pada dunia grup media sosial, seperti grup reuni. Ini parah luar biasa. Pasalnya, setiap grup reuni, kini aktivitasnya begitu merajai di setiap smartphone anggotanya, sampai-sampai setiap pagi pun, ada saja anggota yang berkleuh kesah, smartphonenya kepenuhan data.

Kejadiannya, di grup reuni itu, banyak anggota yang tidak tahu kesantunan, apakah obrobalnnya pas disampaikan dalam grup, atau cukup dengan cara melalui jaringan pribadi (japri) yang tidak semua anggota grup harus terganggu. Smartphonennya tidak harus selalu kepenuhan data. Sikap ini pun sudah termasuk dalam kategori generasi digital yang bar-bar.

Reuni=budaya tatap muka, silaturhami, bermanfaat atau mudarat

Karenanya, meski grup-grup media sosial telah memberi kemudahan bagi manusia untuk berkomunikasi, bertemu, reuni, dan bertatap muka langsung, tetap menjadi pilihan bagi manusia untuk bersilaturahmi. Tidak bersembunyi di balik layar. Tidak selalu mengudara di dunia maya. Yang pastinya banyak menimblukan mudarat bagi anggota lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline