Menjaga, merawat, mengembangkan, dan meningkatkan kinerja otak, signifikan pada langkah dan tindakan.
(Supartono JW.08082023)
Bersyukurlah bila dalam kesempatan hidup di dunia ini, saya, kita, termasuk golongan manusia yang diberikan keberkahan sebagai orang yang tahu bahwa diri saya, kita, tahu.
Tidak menjadi manusia yang sekadar ikut-ikutan. Tidak punya pendirian. Menjadi manusia yang hanya mementingkan diri, kelompok, golongan, partai, dinasti, hingga oligarkinya.
Tidak menjadi manusia yang mencari makan seperti menjadi buzzerRp dan sejenisnya.
Mampu menjaga pikiran dan hati untuk kemaslahatan diri, bangsa dan negara, serta umat manusia.
Pondasi akal, intelektual
Menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tahu, harus senantiasa disyukuri sekaligus wajib dapat merawatnya. Agar apa yang saya, kita, tahu tidak mudah hilang, lupa, lepas dari ingatan. Pun, terus menambah pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan, agar saya, kita, menjadi tahu-tahu yang lain, yang selama hidup ini belum saya, kita: sentuh, alami, jalani, dll.
Menjadi orang yang tahu bahwa dirinya tahu, adalah kategori manusia yang paling sempurna. Sebab, masih ada golongan orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Ada orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu dan ada orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Seseorang yang tahu bahwa dirinya tahu, kuncinya ada pada kesempurnaan akalnya, pikirannya, otaknya. Dalam kehidupan berproses sejak lahir hingga dewasa, sampai tua. Belajar di lingkungan keluarga, pendidikan formal, lingkungan masyarakat, hingga lingkungan pekerjaan, dan lingkungan lainnya.
Selama berproses itulah, dalam diri manusia secara jasmani dan rohani, tertanam pondasi nilai-nilai intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif-inovatif, dan iman (Iseaki).