Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat

Fungsi Bicara Zaman ini

Diperbarui: 3 September 2020   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Supartono JW


Beberapa hari ini, saya gelisah. Pasalnya kok bisa ada warganet yang menulis seperti ini:"Dulu membela wong cilik, kini menjadi wong licik?"

Itulah sekurangnya sebuah kalimat yang saya kutip "bebas" dari sebuah komentar netizen di kolom komentar sebuah artikel di media online., mengapa sampai ada netizen yang berkomentar yang inti maksudnya seperti demikian?

Yang pasti, komentar itu menjadi tertulis, akibat dari sebuah tayangan artikel yang menuliskan berita yang isinya mengutip pembicaraan seseorang tokoh nasional. Dan, kira-kira ada berapa juta komentar sejenis di kolom komentar media massa kita? Lalu, dengan komentar-komentar seperti demikian, mengapa khususnya media online malah tak melakukan moderasi dan seleksi hingga komentar malah terus mendapat tempat terhormat padahal sangat memicu disintegrasi bangsa. Adakah ini memang menjadi bagian dari sebuah "sandiwara?"

Munculnya komentar akibat hasil dari sebuah pembicaraan  tersebut, saya jadi teringat peribahasa "Mulutmu Harimaumu" yang bila dimaknai bisa berarti segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri.

Betapa luar biasanya apa yang terjadi di Republik ini,  sebuah pembicaraan meski hanya sebuah kata atau kalimat atau paragraf hingga opini, mau ke luar dari mulut seorang tokoh, elite partai, pemimpin partai, tokoh parlemen, tokoh pemerintahan, pakar, pengamat, akademisi, hingga rakyat jelata, semuanya akan sangat mujarab menjadi pemicu masalah di NKRI setelah "digoreng" oleh berbagai pihak, terutama oleh media massa.

Rakyat antara sadar dan tidak

Adakah rakyat Indonesia menyadari bahwa akibat sebuah pembicaraan, kini telah berimbas tajam kepada etika, tata krama, sopan-santun, budi pekerti luhur yang terbungkus dalam satu kata "karakter" selalu menjadi kebanggaan bangsa ini, bukannya tambah meningkat sesuai cita-cita dan janji pemimpin kita, sebaliknya malah semakin merosot dan sangat signifikan mengalami kemunduran?

Setali tiga uang, dunia pendidikan yang diharapkan menjadi penyelamat keterpurukan sekaligus mampu mengentaskan karakter dan mental rakyat Indonesia, justru selalu terganggu oleh tindak tak teladan dan tak panutan dari para elite partai serta para pemimpin bangsa yang semakin gila menjadi penguasa untuk diri, keluarga, kolega, dan junjungannya terutama dengan senjata "mulutnya" alias lisan alias bicaranya?

Tidak perlu saya ungkap, rakyat Indonesia pasti paham, sejak kapan kemerosotan dan kemunduran karakter yang sangat tajam ini terjadi di Indonesia akibat "Mulutmu Harimaumu" yang memang diciptakan dan dibuat skenarionya oleh para cerdik pandai yang "licik", lalu diaplikasikan di tengah rakyat hingga rakyat terus terbelah dalam jurang perseteruan dan perpecahan yang semakin dalam karena memang ada tujuan.

Atas kondisi ini, terutama di tengah pandemi corona yang semakin ganas dan jelang Pilkada yang menganga "terbaca" siapa yang ingin terus mencengkeram dan menguasai Ibu Pertiwi, saya mengajak pada diri sendiri dan siapa saja yang ingin Indonesia kembali tak "terjajah", marilah menempatkan diri menjadi rakyat sejati. Jaga lisan kita agar tidak semakin memperkeruh suasana. Tahan dan sabar, jangan terpancing provokasi yang sengaja ditebar oleh "suatu pihak" baik di dunia maya, medsos, maupun di media massa.

Ingat, Indonesia terkini sedang dalam kondisi tak biasa dan situasi ini, pun sejatinya mungkin memang sengaja dicipta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline