Senin, 13 Juli 2020 tahun pelajaran baru di Indonesia dimulai. Bahwa sudah diinformasikan oleh Kemendikbud mana saja daerah dan sekolah yang sudah diizinkan untuk memulai tahun ajaran baru dengan tatap muka, dan sebagian besar masih wajib dengan sistem belajar daring/online/virtual (DOV), tetap saja pakar pendidikan, para praktisi dan pengamat pendidikan, dan masyarakat menyangsikan menyoal mutu kualitas pendidikan dan dampaknya terhadap psikologis siswa.
Lebih dikawatirkan lagi, saat daerah dan sekolah di daerah hijau yang boleh sekolah dengan tatap muka, namun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru telah mengakui bahwa penyebaran virus corona melalui udara sesuai temuan dari para pakar dari 32 negara, meski proses pembuktiannya masih berlangsung.
Sehingga, kini berbagai pihak di Indonsia juga kembali diserang keraguan bahwa kegiatan sekolah di daerah hijau yang akan menggunakan sistem tatap muka, sangat dikawatirkan akan menjadi klaster baru Covid-19.
Terlebih, meski sekolah berlokasi di daerah hijau, para siswa belum tentu berasal dari daerah yang sama. Sudah begitu, adanya pengakuan virus menyebar melalui udara, dan penyebaran di ruang tertutup akan menjadi dominan, tentu akan sangat mengancam keberadaan sekolah yang membuka pembelajaran dengan tatap muka.
Mustahil dalam tempo singkat, sekolah-sekolah bersangkutan dapat menyiapkan diri dengan protokol kesehatan baru, menyesuaikan protokol virua menyebar melalui udara.
Setali tiga uang, sekolah yang masih wajib melakukan pembelajaran dengan sistem DOV, juga masih dipertanyakan kesiapannya dalam menyambut tahun ajaran baru ini.
Sebagai acuan, dalam Sapa Indonesia Malam menyoal kesiapan sekolah di tahun ajaran baru di stasiun Kompas TV pada Minggu petang (12/7/2020), disimpulkan bahwa, sesuai hasil survei masih lebih dari 80 persen masayarakat yang menyatakan bahwa pembelajaran DOV masih tidak dan belum efektif, selama empat bulan sebelumnya, sejak corona hadir di Indonesia.
Orang tua yang selama ini mempercayakan KBM kepada sekolah 100 persen, sangat gagap dalam memantau dan keterlibatannya dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Terlebih, dalam pengalaman empat bulan yang lalu, para guru hanya sekadar mencekoki siswa dengan tugas.
Belum lagi masih tidak meratanya kesiapan sekolah di masing-masing daerah di seluruh pelosok Indonesia baik menyoal fasilitas, teknologi, dan biaya, semakin menambah pembelajaran DOV ini benar-benar akan tidak bermutu.
Esensi belajar khususnya untuk masyarakat Indonesia itu tatap muka, pengalaman langsung, sentuhan langsung. Itu saja, selama ini belum mampu menyentuh hati dan pikiran siswa untuk menjadi terdidik, berkarakter, dan berbudi pekerti luhur. Bagaimana dengan tahun ajaran baru yang tetap dipaksakan dengan sistem DOV?
Yang pasti, sehebat-hebatnya, secanggih-cangihnya model Kurikulum Transisi (KT) yang kabarnya sedang dirumuskan, namun hingga detik ini belum ada informasi ke masyarakat bahwa KT sudah siap hingga disosialisasikan kepada orang tua siswa, masih wacana.