Niat baik, aksi baik, jangan bawa perasaan (baper) bila ada yang mengkritik karena ada yang memandang belum benar.
Tapi hingga saat ini, susah rasanya kita menemukan manusia yang tidak unik karena persoalan kritik itu. Apa uniknya? Saat kita/seseorang/kelompok, terdorong untuk mencapai sesuatu dengan caranya, namun saat ada orang lain atau kelompok lain menilai apa yang kita lakukan dan menunjukkan kekurangan dalam diri yang dapat kita tingkatkan, kemudian ada yang menawarkan kata-kata dengan hangat, penuh kebijaksanaan, kritik konstruktif, saran, atau masukan yang berguna, ternyata, kebanyakan dari kita lebih suka tidak mendengarnya, bahkan mengabaikannya.
Lebih dari itu, bahkan ada yang menganggapnya malah menjatuhkan, merendahkan, dan sejenisnya. Itulah uniknya. Padahal, kita semua ingin memenuhi harapan kita akan semua niat baik, aksi baik itu. Sayang, saat ada kritik malah dianggap sebagai ancaman besar untuk harga diri dan perasaan positif akan identitas diri.
Dari berbagi literasi seperti yang ditunjukan oleh teori, riset psikologi, dan penelitian selama puluhan tahun, ternyata, orang selalu punya taktik cerdik untuk tetap positif dalam menghadapi kritik, karenanya respon pertama saat dikritik seringkali tanggapannya akan berupa tanggapan defensif.
Tindakan refleks ini, menjadi kebiasaan untuk membuat kita merasa lebih baik, namun di saat yang sama, sikap defensif pun malah mengungkap bahwa kita sedang merasa tidak aman, merasa cacat karakter, dan berbagai sikap tidak menyenangkan dalam diri kita yang lain. Itulah ego asli manusia.
Oleh sebab itu, ada benar, ada salah. Ada baik, ada jahat. Ada terang, ada gelap. Tiga pasangan kata itu, kini sangat kental menjadi kata kunci semua lapisan masyarakat kita Indonesia, mulia dari rakyat biasa, elite partai, pejabat, hingga para pemimpin negeri sebagai senjata ampuh saling memuji atau sebaliknya saling membenci menumpang kendaraan bernama "kritik".
Sayangnya, karena masalah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi, khususnya untuk para elite partai, pejabat, dan pemimpin di negeri ini, segala hal dapat digoreng menjadi isu politik plus dengan strategi intrik dan taktiknya. Semua sudah mahfum, apa yang mereka lakukan untuk tujuan apa? Minimal untuk menyelamatkan kursi yang diduduki dan tetap berharap rakyat memercayainya.
Maka bagaimana caranya selalu agar tetap dapat dipandang benar, baik, dan memberi cahaya terang bagi kemaslahatan masyarakat. Bila ada pihak yang lantas mengeluarkan kritik, saran, dan masukan, maka akan langsung merasa diserang atau malah merasa direndahkan.
Itulah yang kini terus terjadi di kalangan elite partai dan pejabat pemerintahan kita. Ada yang mengkritik dengan maksud demi kebaikan dan kebenaran, namun yang dikritik, karena merasa ego dan harga dirinya menjadi direndahkan, maka akan langsung defensif.
Luar biasanya, bukannya menganalisa dan mengelola kritik menjadi masukan agar tindakan niat baik dan aksi baik itu menjadi duduk di tempatnya, benar, malah diartikan sebagai bentuk pelemahan dan pembunuhan karakter.
Berikutnya malah menambah masalah dengan menyebut si pengkritik sebagai artis medsos atau sekadar sedang mencari panggung. Lucu. Inilah pendidikan karakter dan keteladanan para pemimpin kita di tengah wabah corona ini.