Di luar semua persoalan yang kini sedang "melanda dan mendera" negeri kita tercinta, pemerintah juga wajib benar-benar memperhatikan nasib pendidikan formal para atlet olah raga Indonesia.
Melalui artikel ini, secara pribadi saya mengetuk hati Bapak Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pemuda dan Olahraga, dan seluruh stake holder olahraga Indonesia, terkhusus PSSI.
Kasus, Jasmine yang memilih sepak bola daripada sekolah, hingga kasus Jasmine pun dijadikan perbincangan publik yang tidak paham persoalan pendidikan formal, wajib menjadi pijakan agar pemerintah benar-benar konsen pada masalah pendidikan atlet olahraga Indonesia.
Mustahil berharap prestasi, bila pondasi pendidikan formal atlet terus terabaikan dan dibiarkan tak tertangani dengan benar. Bila, hal ini tidak segera dicari jalan tengahnya, maka seluruh atlet olah raga Indonesia khususnya di pendidikan menengah ke bawah, hanya akan mendapat rapor kenaikan kelas dan ijazah lulus sekolah "formalitas", yang jauh dari tujuan pendidikan, menciptakan dan melahirkan "manusia unggul" Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa meski atlet yang potensial terjaring hingga masuk PPLPD/PPLP hingga PPLM, yang menggaransi atlet mendapatkan dua asupan sekaligus, yaitu olah raga yang ditekuni dan pendidikan, pada faktanya, pendidikan formal tetap menjadi "tempelan" karena prioritas atlet justru digenjot di aspek olah raganya.
Bagaimana kondisi atlet yang tidak tertampung di PPLPD/PPLP/PPLM? Pasti harus menempuh jalur pendidikan di sekolah formal. Saat atlet menempuh pendidikan di sekolah formal, maka juga sudah bukan rahasia lagi, bahwa demi mendukung karir si atlet, maka guru dan pihak sekolah juga turut "membantu" merekayasa hasil nilai rapor dan ijazah demi formalitas naik kelas atau lulus sekolah.
Khususnya di cabang sepak bola, saat PSSI menggelontorkan program Kompetisi Liga 1 di sektor usia muda, yaitu Elite Pro Academy (EPA) sejak 2018, bahkan menyangkut pendidikan ini ada peraturan tentang jarak siswa/pemain EPA yang bergabung dengan Klub Liga 1. Peraturannya adalah bila si pemain direkrut oleh sebuah klub dan jarak pemain dengan domisili klub lebih dari 60 km, maka klub wajib bertanggungjawab kepada pendidikan formal pemain.
Sementara EPA di mulai dari U-16, U-18, dan U-20. Secara otomatis, pemain U-16 masih duduk di bangku sekolah Menengah Atas (SMA) dan sejenisnya, dan pemain U-18 dan U-20 sudah mahasiswa.
Pertanyaannya, adakah klub Liga 1 yang sekaligus memiliki sekolah dan universitas formal di Indonesia? Karenanya, semua pemain yang direkrut klub liga 1 akan mempunyai persoalan yang sama menyangkut pendidikan formalnya.
Apalagi bila klub tak bertanggungjawab, maka si pemain akan memiliki beban dan sekaligus membebani sekolah formal, karena pemain meninggalkan pelajaran di sekolah cukup lama karena harus bergabung dengan klub.
Di luar program PSSI dengan EPA-nya, kini juga menjamur lahirnya Diklat atau Akademi SSB yang menampung siswa usia di bawah 17 tahun, yang artinya masih masa-nya di jalur pendidikan SMA ke bawah.