Jadilah menteri yang membikin rakyat nyaman.
Niat baik aksi baik, memang harus diiringi niat yang benar, lalu aksi yang benar. Dibentuknya Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun pasti karena dasar niat benar dan baik, maka dipilih para menteri dan pembantu menteri demi menyukseskan program-program pemerintah yang harus dilaksanakan dengan aksi yang benar dan baik pula.
Sayang, niat benar dan baik Presiden Jokowi baik di kabinet jilid 1 maupun jilid 2, sering dinodai oleh aksi tidak benar dan tidak baik oleh beberapa menterinya, sehingga bukannya malah mendukung program-program yang sudah dicanangkan, malah sebaliknya menuai persoalan di masyarakat.
Jelas, ini menjadi sangat kontraproduktif dan semakin membikin sentimen rakyat meningkat, karena para pembantu Jokowi di kabinet juga banyak dipilih dari cara bagi-bagi kursi, tidak mementingkan profesionalisme dan kemampuan menterinya.
Di kabinet baru, dua menteri yang sangat menjadi sorotan rakyat adalah dipilihnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendukbud) dan Menteri Agama (Menag). Usia, pengalaman, dan kompetensi mendikbud baru yang jauh dari standar umumnya, menjadi persoalan besar bagi bangsa dan negara ini. Sebab, pendidikan adalah kawah candradimukanya cikal kemajuan bangsa dan negara.
Apakah pendidikan harus disulap menjadi aplikasi dan robot, sementara persoalan mendasar kegagalan pendidikan di Indonesia adalah sulitnya menelurkan manusia yang berkarakter, santun, beradab, dan berbudi pekerti luhur.
Contoh nyata, lihat karakter, kesantunan, adab, dan budi pekerti para pemimpin, elit partai yang ternyata tak layak untuk diteladani.
Mendikbud yang belum sepenuhnya berhasil mengelola GoJek dan mensejahterakan para drivernya, lalu berat dan kompleksnya masalah yang menghimpit seputar pendidikan dan kebudayaan di Indonesia, adalah alasan mengapa para akademisi khususnya dan rakyat pada umumnya pesimis akan pilihan Jokowi menempatkan menteri ini di kabinet karena tugas yang berat.
Setali tiga uang, penunjukkan menteri agama (menag) juga memiliki persoalan yang sama. Kapabilitas dan kompetensi menag jauh dari harapan, sebab bidang agama justru harus menjadi pondasi yang kuat demi lahirnya manusia Indonesia yang berkarakter, santun, beradab, dan berbudi pekerti luhur.
Lebih ironis, saat rakyat mengetahui kapabilitas menag di bidang apa namun ditempatkan menjadi menteri agama, menag justru banyak melakukan aksi "sok tahu." dan malah "membikin resah." Ini menag mau mengampu dan melaksanakan program kabinet di bidang agama atau mau menjadi menteri khusus urusan radikalisme.
Sejak ditunjuk menjadi menag, di setiap kesempatan, yang dijual selalu berbau anti radikalisme, menyuruh orang ke luar dari Indonesia dengan jargon "ke luar kamu", sibuk mengurusi celana cingkrang, doa imam di masjid dll.