Lihat ke Halaman Asli

Tutup Telinga pada Riuhnya Buku-buku Motivasi!

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

:)

(terinspirasi dari tulisan Mas Sulak mengenai Para Jawara di Ruang Putih minggu ini…) “Apakah aku perlu membeli buku ini,” ujar Rifqi, salah seorang sahabat baikku, ketika kemarin kami sama-sama berkunjung ke toko buku, sambil menunjukkan sebuah buku motivasi yang belakangan ini sangat laris di pasaran. Sontak hal tersebut mengingatkanku pada kunjungan salah seorang kawan beberapa waktu silam. Namanya Jamal. Ia adalah seorang enterpreneur muda yang bergelut di bidang bisnis buku secara online.  Dan saat kunjungannya itu, Jamal sedang mengantarkan buku pesananku, satu set novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Jamal yang menganggap koleksi buku-bukuku sebagai harta karun, terhenyak dan berkata: “Mas, kamu nggak suka buku-buku motivasi ya?” Aku tersenyum hambar karena memang aku tidak hobi untuk membaca apalagi mengkoleksi buku-buku how to dan motivasi. Saya tidak membutuhkan buku motivasi! Bagi saya, semua buku how to dan buku motivasi isinya sama. Itu-itu saja! Dan (menurut saya), hanya cocok untuk anak-anak galau –atau selevel SMA, yang belum tahu tujuan hidupnya. Bukan orang seumuran saya, twenty something yang beberapa hari lagi akan menginjak usia berkepala tiga. Anda cukup membaca salah satu saja, karena yang lain pun akan mengekor seperti yang sedang Anda baca itu. Sampai seusia ini, buku motivasi a.k.a how to yang saya punyai –dan masih sering saya baca, hanyalah Seven Habbit of Hightly Effective Teens karangan Sean Covey, putra dari Steven R. Covey. Dari Indonesia, saya cuma suka Creative Junkies-nya Yoris Bastian. Sudah itu saja! Tidak yang lainnya. Kalau mau pintar dan sedikit mencermati, buku-buku itu isinya paling cuma tiga bab penting, yakni: menentukan tujuan (goal), memetakan tujuan itu dengan langkah langkah nyata dan menyiapkan bekal yang akan kita gunakan selama perjalanan –sebelum kita sampai pada tujuan. Kembali ke pokok persoalan, mengapa menurut saya buku-buku motivasi itu tidak penting? Ya karena saya sudah tahu apa tujuan hidup saya: Tiga tahun lagi saya akan seperti apa? Lima tahun lagi ingin menjadi apa? Bahkan, tanpa bermaksud untuk sesumber bin “omong besar”, saya bahkan sudah punya tujuan, saya sudah punya cita-cita ingin mati dengan cara seperti apa. Hanya saja sekarang ini kenyataannya begini, masing-masing orang punya standar tersendiri, punya “nilai” sendiri-sendiri dalam menentukan arti kesuksesan. Ada (baca: banyak) yang mendasarkan kesuksesan berdasarkan sejumlah materi yang dia punyai. Sedang yang lain, seperti saya, menilai kesuksesan berdasarkan “arti”, berdasarkan hakekat: Seberapa berartinya saya bagi orang-orang di sekitar saya? Jujur, saya tidak pernah silau dengan GL Max, Mega Pro, Satria Ninja atau berbagai merk motor cowok lainnya, yang teman-teman saya pamerkan dengan gagah-gagahan di hadapan saya. Termasuk juga kendaraan roda empat yang sumbernya entah dari mana, bergati-ganti gadget komunikasi, aneka barang mewah dan branded. Bagi saya itu tidaklah penting. Saya sudah cukup puas dengan Supra Fit dan Android versi Young yang saya miliki, meskipun sering kali saya dengar celetukan dari beberapa kawan yang mengatakan kalau barang-barang itu sudah tidak cocok untuk saya pakai. Sekali lagi saya katakan, saya tidak silau. Tapi saya senantiasa terlecut pada mereka yang bisa mengukir prestasi kemanusiaan setinggi langit. Bagi mereka, teman-teman saya, yang perjuangan untuk orang lain luar biasa hebatnya. Ia, mereka para Juara, yang memiliki banyak arti bagi orang lain. Kembali ke soal-soal buku-buku motivasi yang kami –aku dan Rifqi, lihat siang itu, buku-buku Ippho Santosa dan Merry Riana hanya mendasarkan kesuksesan berasal dari uang atau materi yang dimiliki oleh seseorang. Mereka berpendapat bahwa uang, materi adalah salah satu prasyarat untuk hidup bahagia. Kebahagiaan. Tapi apakah semua orang kaya dan bergelimang harta merasa bahagia dengan hidup mereka? Saya berani jamin kalau jawabannya TIDAK! Saya mencoba memamahami pola pikir umum: Mengapa di dunia ini materi, uang, kekayaan selalu menjadi ukuran bagi kesuksesan dan kebahagiaan seseorang? Ya , karena memang materi (baca: uang) lebih gampang dihitung ketimbang kita disuruh mengukur “peran” atau arti penting kita bagi orang lain. Bahkan di buku-buku motivasi macam itu, ada seorang penulis yang secara ekstrim mengatakan: “Karena dengan uang yang saya miliki, saya bisa berbuat lebih banyak bagi orang lain, orang-orang di sekitar saya.” Apakah benar seperti itu? Apakah lantas semuanya itu tidak membuat dia lupa? Tuhanlah yang Maha Mengetahui. Bagi saya, sederhana saja, mengapa saya malas dengan buku-buku itu? Ya… di samping karena prinsip hidup dan tujuan hidup saya berbeda dengan mereka, saya malah tergelitik ingin bertanya pada mereka: “Apakah dengan apa yang saya miliki saat ini, apa yang saya punyai saat ini, apakah mustahil bagi saya atau Mak Een (Een Sukaesih, Guru Inspiratif asal Sumedang yang dengan segala keterbatasannya) untuk bisa berbagi dengan orang lain?” Sekali lagi, Tuhanlah yang Maha Mengetahui. (tby) NB: lalu, dari buku-buku macam apa saya mendapatkan motivasi? saya lebih suka buku biografi dan catatan pemikiran alias filosofi. ini link terkait yang seru juga untuk dibaca, Permirsah…. hehehehehe…. >>>> http://suarapengusaha.com/2013/06/15/pelajaran-yang-dipetik-dari-kasus-pailit-bos-primagama-purdi-e-chandra/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline