Lihat ke Halaman Asli

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (2)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanam Paksa dan Politik Etis

Setelah kebangkrutan VOC, Pemerintah Belanda mengambil alih perannya, mengurus langsung tanah jajahan dalam nama Hindia Belanda (Netherlands Indie) sejak tahun 1800. Namun apa yang berubah dari pergantian tatanan tersebut?

Tiga dekade pertama Hindia Belanda justru menemui masalah sulit. Perang Padri di Sumatera Barat, Perlawanan Diponegoro di Jawa, dan lepasnya Belgia dari kekuasaan Belanda di Eropa membuat House of Orange berada di tepi jurang kebangkrutan di akhir 1830-an.

Menanggapi situasi ini, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch membuat gebrakan peraturan baru yang bernama Cultuurstelsel (tanam paksa) tahun 1830. Kebijakan ini berpusat di Jawa dengan mewajibkan 20% tanah di Jawa untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi dan tebu. Belanda juga mewajibkan setiap petani Jawa menyumbangkan tenaganya selama 60 hari dalam setiap tahun untuk bekerja di perkebunan Belanda, bahkan melarang petani Jawa bepergian dari desanya agar mereka bisa menaati peraturan tanam paksa.

Dampak Cultuurstelsel demikian luar biasa. Sepanjang 1830-1870, keuntungan senilai 1 miliar Gulden diangkut dari Hindia ke Amsterdam, menyumbang rata-rata 25% dari anggaran tahunan negeri Belanda. Belanda pun terselamatkan dari tepi jurang kebangkrutan.

Sebaliknya, petani di Jawa hancur penghidupannya. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri karena sebagian tanahnya tidak boleh ditanami padi. Kemiskinan, kelaparan, dan wabah penyakit meruyak. Tahun 1840an, Cirebon dan pedalaman Jawa Tengah dilanda bencana pangan. Sementara elit Jawa, alih-alih melawan, mereka menjadi bagian dari operasi Cultuurstelsel.

Kemakmuran Belanda setelah Cultuurstelsel bukan hanya memenuhi kantung kerajaan, tetapi juga meningkatkan modal swasta Belanda yang pada gilirannya mengkampanyekan penghentian Cultuurstelsel agar modal swasta Belanda bisa turut mengeruk kekayaan Hindia. Sejak 1870, Cultuurstelsel dihentikan dan perkebunan swasta menjamur, kali ini bukan hanya di Jawa, tetapi merambah pulau-pulau lain. Komoditas tanaman yang diperkenalkan pun semakin banyak: tembakau, teh, kina, kakao, dan karet. Sumatera dan Kalimantan dibuka untuk pertambangan minyak.

Bagi Belanda, keuntungan dari usaha swasta di Hindia semakin melipatgandakan kekayaan mereka. Hindia Belanda menjadi penyuplai terbesar kina dan merica dunia, lebih dari sepertiga produksi karet, seperempat produksi kelapa, seperlima produksi teh, gula, minyak bumi, dan kopi dunia. Karenanya, Belanda pun berkibar menjadi kolonialis terkemuka di dunia.

Bagi elit pribumi, perkebunan swasta turut menghadirkan pundi-pundi uang bagi mereka dari hasil penyewaan lahan-lahan. Namun bagaimana bagi pribumi kebanyakan? Sepintas, dampak perkebunan swasta telah meningkatkan kualitas hidup pribumi Hindia. Ditandai dengan ledakan penduduk di Jawa pada era tersebut. Namun ini adalah kesejahteraan yang semu dan rentan. Terbukti ketika dunia dihajar krisis ekonomi tahun 1880an, pribumi Hindia menjadi salah satu korban pertamanya. Kemiskinan dan kelaparan di berbagai wilayah di Hindia kembali meruyak, tidak lebih baik dibandingkan kondisi era sebelumnya.

Kondisi ini memicu protes di kalangan aktivis sosial di negeri Belanda. Karya-karya lama seperti Max Havelaar (karya Multatuli) kembali dibaca dan memberi pengaruh besar bagi aktivis dan kelas menengah Belanda. Pieter Brooshooft, seorang jurnalis Belanda menulis tentang kewajiban moral Belanda untuk memberikan kesejahteraan lebih pada pribumi Hindia. Dia menggambarkan pribumi Hindia sebagai kanak-kanak yang lebih butuh dibantu daripada ditindas. Aktivis sosial Belanda mendukung pandangan Brooshooft, meminta audiensi dengan Ratu Wilhelmina, dan mengingatkan elit Belanda tentang hutang kehormatan “debt of honour” kepada pribumi Hindia yang wajib dibayar dengan memperbaiki kehidupan pribumi Hindia.

Hindia lah yang menyelamatkan Belanda dari jurang kebangkrutan. Hindia sebagai wingewest (daerah jajahan penghasil keuntungan) telah mengembalikan kejayaan dan kekayaan Belanda. Dan untuk itulah Belanda harus balas budi.

Tekanan kalangan aktivis sosial dan kelas menengah ini memaksa pemerintah Belanda membuat kebijakan baru yang lebih berpihak kepada kesejahteraan Hindia, yang kemudian disebut sebagai politik etis atau politik balas budi, yang diluncurkan tahun 1901.

Tiga program utama kebijakan politik etis adalah irigasi (membantu ketersediaan pangan Hindia), migrasi (memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang padat ke luar jawa), dan edukasi (membuka pendidikan barat modern kepada kalangan pribumi).

Pada tahun 1900, hanya 1.500 pribumi yang mampu mengecap pendidikan dasar modern, jumlah ini meningkat menjadi 75.000 orang pada 1928. Jumlah ini masih sangat kecil namun sangat berarti dibandingkan era-era sebelumnya.

Bagi Belanda sendiri, motif peluncuran kebijakan politik etis sebenarnya adalah tetap dalam koridor untuk menjaga kelangsungan kekuasaan Belanda atas pribumi, sebagaimana dinyatakan ayah Ratu Wilhelmina, William III, yakni “The sacrifices needed of us to maintain our authority over them”.

Namun jarum jam sejarah berkata lain. Munculnya elit pribumi terdidik, sebagai produk politik etis, justru telah menyemai benih ide-ide kebangsaan Indonesia. Belanda yang perkasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memutar balik jam sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline