Lihat ke Halaman Asli

Jalan Kebangkitan; Indonesia untuk Indonesia (5)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang tidak bisa digelar di atas ratusan ribu potongan mayat termutilasi? Yang dibenamkan dalam kuburan masal tanpa nisan, atau dihanyutkan di Kali Brantas untuk memberi pesan pada siapapun yang dilewati alirannya. Semudah itulah Orde Baru menaklukkan lawan-lawannya. Bukan hanya PKI (lawan paling tangguh) yang dibinasakan, seluruh kekuatan sosial dan masyarakat diintimidasinya.

Dampaknya segera terasa pada Pemilu 1971, pemilu pertama pasca geger PKI. Dengan sisa noda darah di tangannya, rezim baru mempromosikan, dengan segala cara, agar Golkar memenangi Pemilu. Cukup dengan sedikit teror, warga paham bahwa mereka tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti rezim. PKI dijadikan sosok hantu yang siap dihidupkan kembali kapanpun untuk memberi peringatan dan ancaman kepada setiap potensi perlawanan. “Apakah kalian sudah lupa dengan yang kenter-kenter di Kali Brantas dulu?”

Di atas ketakutan itulah rezim menegaskan siapa dirinya dan apa keinginannya. Konsentrasi pada ekonomi, eksploitasi SDA besar-besaran, akumulasi hutang luar negeri, sistem penjatahan kekuasaan dan aset ekonomi kepada pihak-pihak yang mendukung, atau yang dinilai berguna bagi tegak berdirinya rezim. Orde Baru ingin memberi kesan bahwa ia jauh lebih baik dari era sebelumnya dengan mendirikan etalase-etalase ekonomi tertutup kaca. Bisa dilihat, tapi susah disentuh jika kau bukan siapa-siapa.

Dalam waktu singkat Orde Baru berhasil membelah struktur sosial secara vertikal, antara sejumput elit baru (yang menggenggam dominasi kekuasaan dan ekonomi sekaligus) dan lautan awam yang tidak beranjak kemana-mana. Borjuasi muncul jumawa, tersusun atas petinggi militer, sejumlah pengusaha non-pribumi, dan keluarga besar politisi-birokrat-pengusaha pribumi yang setia menopang rezim.

Soeharto, presiden dan pemimpin rezim, selalu memiliki cara agar borjuasi tetap terkonsolidasi di bawah kendalinya. Borjuasi berlomba menyenangkan Soeharto agar tetap mendapatkan hak untuk mengakses sumber daya politik dan ekonomi. Tatanan ini mirip sebuah piramida, dimana Soeharto berada di puncak piramida, seperti seorang kaisar. Jeffrey Winters menyebut tatanan ini sebagai Oligarki Sultanistik Orde Baru.

Dibandingkan rezim-rezim otoriter lain di Asia, misalnya Korea Selatan atau Singapura dan Malaysia, Orde Baru praktis tidak memiliki karya-karya yang dapat menjadi legacy. Industri yang bervisi substitusi impor tak mampu mengembangkan dirinya menjadi kebanggaan nasional. Indonesia tidak punya industri kimia dasar dalam skala regional yang mandiri, tidak punya industri pertahanan, otomotif dan elektronik yang diperhitungkan. Semua cita-cita mengembangkan industri dirgantara berantakan dihajar krisis. Revolusi hijau di lahan-lahan pertanian berlomba meracuni tanah dengan bahan-bahan kimia.

Hal ini dikarenakan para oligark bagaikan tikus-tikus besar yang ribut memperebutkan makanan di atas nampan besar yang diletakkan di atas meja. Konsesi, hak pakai, hak guna, hak eksplorasi diperebutkan bersamaan dengan kompetisi kekuasaan. Pada akhirnya hak-hak tersebut dijual kepada asing demi mendapatkan keuntungan lebih mudah. Mereka tidak pernah serius membangun apapun selain menjadi broker asing. Sementara Soeharto yang makin tua semakin kehilangan daya kontrolnya, para tikus oligark memporak-porandakan isi nampan bahkan menjungkirkan mejanya.

Yang dihancurkan Orde Baru bukan hanya para pelawan, tetapi juga struktur politik demokratis, tatanan hukum, pendidikan dan karakter, kebudayaan, dan kemandirian nasional. Rakyat awam kehidupannya terlihat lebih baik setelah berebut tetesan dari atas (trickle down), cukup satu tetes karena para oligark tidak pernah menyisakan lebih dari itu.

Situasi yang dialami rakyat awam di zaman Orde Baru, mirip dengan kondisi kakek-kakeknya di zaman modal swasta masuk Hindia Belanda akhir abad 19. Kesejahteraan nampak kasat mata, meskipun itu semu dan rapuh. Ujungnya pun hampir sama. Krisis ekonomi yang dipicu krisis moneter Asia tahun 1997 menggulung semua success story Orde Baru semudah meruntuhkan istana pasir. Seperti nasib kakeknya, rayat awam menjadi korban pertama dari hancurnya Orde Baru. Satu bukti nyata betapa rapuhnya bangunan tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline