Lihat ke Halaman Asli

Media Jejaring Sosial: Menjaring Kita hingga Kehilangan Jati Diri

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Media Jejaring Sosial:

Menjaring Kita hingga Kehilangan Jati Diri

Belakangan ini, facebook sebagai bagian dari media jejaring sosial, telah memberikan dampak perubahan perilaku bagi penggunanya hingga sampai memprihatinkan. Di sekolah, misalnya, sejumlah kasus yang muncul karenanya cukup mengganggu dan menyita kinerja para guru. Ada banyak siswa yang berkelahi di sekolah (di dunia nyata) setelah sebelumnya saling caci maki via facebook (di dunia maya). Tidak jarang juga orang tua yang masuk ruang guru hendak bertemu dengan anak tertentu yang telah mencaci makinya via facebook. Juga banyak keluhan para orang tua kepada guru, lantara banyak para siswa yang menulis status dengan bahasa yang kasar, vulgar, dan tidak santun.

Dampak lain dari perkembangan media jejaring sosial adalah, tergambar dalam hasil pengamatan saya pada dua tahun belakangan ini; Pertama, siswa-siswi dengan Inteligence Quetion (IQ) rata-rata (90-109), IQ di atas rata-rata ( 110-129) dan IQ jauh di atas rata-rata (di atas 130), ketika diberi fasilitas elektronik yang lengkap (HP, internet, dll), dikontrol cara belajar dan penggunaan fasilitas oleh orang tuanya, maka prestasi belajarnya bertambah baik dan perilakunya juga mudah diarahkan. Sebaliknya, para siswa yang berada dalam kategori IQ di bawah rata-rata (81-89) dan yang ber IQ jauh dibawah rata-rata (angka 80 kebawah), ketika diberi fasilitas elektronik berlebihan (HP, internet, dll), tidak dikontrol cara belajar dan cara penggunaan fasilitasnya oleh orang tua karena sibuk bekerja, tidak peduli, dan tidak tahu kemampuan anaknya, maka hasil prestasi belajarnya menjadi sangat rendah dan sulit diharapkan, termasuk perilakunya sangat sulit diatur untuk beradaptasi dengan tata tertib di kelas, di sekolah, di gereja, dan dimasyarakat.

Hasil di atas hendak menjelaskan bahwa, “ada hubungan yang erat antara pemberian fasilitas tertentu oleh orangtua dengan prestasi seorang anak”. Untuk itu dalam permberian sebuah fasilitas hendaknya orangtua mengerti terlebih dahulu kemampuan dan posisi intelektual anaknya, mengerti watak anaknyanya, tahu kemampuan tanggung jawab anaknya terhadap tugas tertentu dan lain sebagainya. Berdasarkan pengetahuan semacam itu, barulah orangtua bisa memberikan fasilitas apa yang baiknya untuk si anak, bagaimana cara pengontrolannya, apa komitmen yang harus dilakukan si anak, dan lain sebagainya.

Selain itu, juga “ada hubungan antara tingkat kecerdasan seorang anak dengan fasilitas apa yang harus dia pakai”. Secara psikologis dapat dijelaskan, bahwa anak yang berintelektual baik, biasanya memiliki tingkat kontrol diri yang baik (self control), cenderung mampu mengatur diri (self regulation), bersikap mandiri, bertanggung jawab, dan berkomitmen tinggi – sehingga ketika diberi fasilitas apa pun dia mampu menggunakannya secara baik dengan tanpa melupakan tugas lain yang dibebankan kepadanya, bahkan dia bisa menggunakan semua fasilitas itu untuk meningkatkan prestasi dirinya. Di masyarakat, tidak jarang kita saksikan banyak para siswa yang sukses mengembangkan dirinya oleh pemberian fasilitas seperti ini. Kebalikan adalah siswa dengan kemapuan intelektual rendah, biasanya akan mudah terpangaruh dengan kehadiran fasilitas yang berlebihan dan mewah, apalagi kalau tidak disertai dengan penggontrolan yang terukur dari orangtua sang pemberi fasilitas. Contoh yang nyata tentang hal ini adalah, suatu waktu ketika saya mengundang salah satu orangtua karena prestasi belajar anaknya yang sangat rendah dan terancam tidak akan naik kelas, maka sang bapak ketika di ruangan saya mengetahui hasil belajar anaknya, dia langsung membanting Hp Blackberry milik anaknya hingga rusak di depan saya dan anaknya. Saya pun kaget. Kemudian sang bapak menjelaskan, “fasilitas ini yang membuat dia terganggu pak. Dia setiap harinya sepulang dari sekolah sekitar 5-7 jam berada di depan internet, Hp-an, atau menonton televisi. Dia kemampuannya lemah dan mudah terpengaruh dengan fasilitas yang ada. Mulai saat ini Hpnya saya rusak dan internet di rumah akan saya matikan agar dia tidak lagi menggunakannya,” demikian sang bapak menumpahkan rasa kesalnya terhadap anaknya saat itu.

Kehilangan Jati Diri

Lalu, apa yang terjadi antara kita manusia dengan media jejaring sosial? bagaimana proses komunikasi massa memberikan penjelasan terhadap persoalan di atas? Sepintas kita temui jawabannya bahwa, efek komunikasi massa pada manusia tidak bisa dipisahkan dari media sebagai “stimulator” bagi manusia untuk merespon dan melakukan tindakan terhadapnya. Dan akan lebih menarik lagi dalam melihat dampak penggunaan media komunikasi (seperti facebook) bagi perilaku manusia jika kita telaah lebih jauh lagi dari perspektif ilmu psikologi.

Dalam buku A Cognitive Psychology of Mass Communication yang ditulis oleh Richard Jackson Harris tahun 2004, dijelaskan bahwa masyarakat kita saat ini ibaratnya sedang berenang di lautan media. Menurut penelitiannya yang dilakukan di beberapa Negara di dunia itu, aktivitas terpopuler di seluruh dunia ketika mengisi waktu luang adalah bersantai dengan media elektonik yaitu menonton televisi, berinternet, dan memencet handpont. Selama 39 jam per minggu menurutnya, waktu luang kita digunakan untuk bersibuk ria dengan alat-alat elektronik dan hanya 2,8 jam seminggu digunakan untuk membaca. Selain itu, ketika menyalakan televisi dan internet, hanya sedikit orang yang menggunakan fasilitas itu dengan program khusus yang sudah direncanakan, dan sebagian besar lainnya hanya mencari-cari saja (tanpa direncanakan). Dan itulah kita, menjadi manusia yang tak sadarkan diri (menjadi kehilangan jati diri) ketika kita berada bersama fasilitas yang kita banggakan, apalagi ketika kita dijaring dan berada dalam jejaring sosial.

Jika kita lebih jauh lagi menelaah, bahwa dalam pendekatan Behaviorisme yang dikemukakan B.F.Skinner, juga memberi kita penjelasan bahwa perilaku manusia terbentuk dari proses hubungan antara stimulus–respon (S-R). Dan tampaknya pendekatan ini tidak salah, karena facebook hadir di hadapan manusia dan kemudian manusia sebagai pengggunanya melakukan respon tindakan untuk menggunakannya sebagai media komunikasi hasil dari teknologi yang diciptakan manusia itu. Respon tindakan akan semakin kuat ketika dalam merespon dia mendapatkan imbalan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ulasan lain juga kita temui dalam Pendekatan Kognitif yang melihat bahwa dalam menghadapi stimulus, manusia tidak saja merespon tanpa alasan. Tindakan manusia didasari oleh pikiran dan logika sehingga reaksi diberikan pada stimulus tidak secara otomatis menghasilkan respon, namun ketika respon dibuat selalu didahului dengan pertimbangan-pertimbangan dan alasan tertentu. Pandangan kedua ini akhirnya melahirkan teori berikutnya yaitu teori belajar sosial (Social Learning Behavior) yang awalnya dikemukakan oleh Miller dan Dollard (1941) dan kemudian dikembangkan Albert Bandura. Dalam teori ini, dinyatakan bahwa proses belajar individu terjadi ketika individu berada di lingkungan dan pada situasi tertentu. Dari lingkungan, seseorang bisa belajar apa yang menjadi minatnya dan meniru tindakan seperti apa yang diinginkannya. Dan ditilik dari teori ini, dapat dikatakan bahwa pengaruh lingkungan menggerakan sebagian pengguna facebook untuk bertindak (berperilaku) menyimpang (behavior disorder, - sebagaimana diuraikan pada awal tulisan ini).

Kajian seputar korelasi antara penggunaan facebook terhadap perilaku dan kepribadian, bermula dari kekuatiran akan facebook sebagai satu alat komunikasi massa (jejaring sosial), yang membuat perilaku individu dan masyarakat terpengaruh olehnya. Hal itu dapat dilihat dari kasus-kasus di masyarakat yang menunjukkan gejala perilaku patologis setelah mengkonsumsi facebook. Misalnya, anak remaja meninggalkan rumah mengikuti remaja pasangannya setelah berhubungan via facebook, juga terjadi perceraian yang berawal dari komunikasi yang intens di facebook, dan sebagaianya.

Dalam bukunya ”The Third Wave,” Alvin Toffler menyatakan bahwa dalam  home-cencerted society, digambarkan bahwa majunya teknologi informasi akan membuat orang cenderung berada dalam rumah untuk melakukan aktivitasnya. Kemajuan ini mungkin memberikan manfaat apabila teknologi itu dimanfaatkan secara proporsional. Namun sebaliknya apabila teknologi itu tidak dimanfaatkan dengan baik, maka dampak negatif akan dirasakan kemudian. Kita mengetahui, bahwa facebook adalah media yang proses kerjanya berdasar pada prinsip elektronik dan gelombang elektromagnetis. Media elektronik menyampaikan pesan dengan cara mendengarkan suara (audial) dan memperlihatkan gambar (visual). Media ini bagi masyatakat disukai karena memiliki beberapa kelebihan antara lain: mudah didapatkan terutama di kota-kota besar, harga relatif murah (saat ini), mudah memberikan informasi secara jelas, cepat, dan akurat, serta dapat menjangkau khalayak yang luas, serta siapapun bisa mengaksesnya dengan mudah, tidak terkecuali anak-anak hingga orang dewasa, baik yang berpendidikan, maupun kurang terdidik. Dengan kelebihan ini, tampaknya peran facebook dapat menjadi bagian hidup manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Bila sudah dikonsumsi ibarat makanan maka bahaya yang ditimbulkan juga akan terjadi dan tinggal menunggu waktu saja.

Seperti dalam teori belajar sosial dan modeling di atas, dijelaskan bahwa facebook dapat menjadi model perilaku. Apabila model perilaku patologis yang ditawarkan facebook itu dicontoh oleh seluruh individu yang mendiami suatu bangsa maka pelan-pelan, kepribadian bangsa itu akan terbentuk menjadi kepribadian sesuai dengan modelnya. Faktor pendorong terbentuknya kepribadian yang baru ini antara lain, karena: (1) pada prinsipnya manusia itu menyukai hal baru (couriosity), (2) manusia itu memiliki sifat hedonis, (3) manusia lebih mudah melakukan imitasi dari pada dengan mengkreasi, (4) manusia memiliki sistem imun (kekebalan) terhadap informasi, (5) adanya dukungan kuat lingkungan baik langsung maupun tidak langsung. Dengan faktor pendukung ini, tentunya kekuatiran akan peran facebook pada perubahan perilaku manusia di abad ini dan kedepannya akan semakin kuat. Sejumlah patologis perilaku yang diakibatkan karena facebook mau menegaskan bahwa sebagian diantara kita adalah “tumbal masyarakat maju,” yaitu masyarakat yang berperilaku patologis karena efek kamuajuan teknologi informasi.

Menggagas Jalan Keluar

Menyikapi banyaknya dampak negatif yang terjadi karena facebook, maka upaya mengajarkan etika bermedia kepada masyarakat menjadi hal penting yang harus dilakukan. Sekolah sebagai institusi formal diharapkan mampu merancang kurikulum khusus untuk mengajarkan etika bermedia pada anak didiknya, agar tidak sekedar mengajarkan Teknologi Informasi (IT) semata. Sejauh ini dalam pengamatan saya, guru ITdan guru Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah formal hanya sibuk mengajarkan berbagai program mutakhir IT dan tata bahasa yang baik dan benar semata dan tidak disertai dengan memberi pemahaman kepada anak didik tentang etika penggunaan IT yang diajarkan itu. Akibatnya, para siswa dengan gampang mengikuti perkembangan teknologi yang ada, lalu menggunakannya secara salah atau untuk tujuan yang salah.

Padahal, kita tahu bersama bahwa resiko kelalaian etika dalam berkomunikasi (bertutur dan menulis di ranah publik via facebook) belakangan ini, menjadi masalah maha penting diluar masalah korupsi, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya. Sebut misalnya, kasus Prita Mulyasari dan kasus Luna Maya yang melakukan komunikasi tertulis dengan bahasa dan tujuan yang tidak terpuji melalui facebook. Serupa tetapi dengan komunikasi bertutur, Ruhut Sitompul pernah melontarkan kata-kata kasar kepada pimpinan rapat Gayus Lumbuun pada rapat panitia angket di DPR yang di siar secara langsung oleh banyak stasiun televisi. Di luar alasan rasional dan kebenaran cara pandang tertentu dari aturan hukum formal, yang jelas sejumlah perilaku berkomunikasi itu jelas berbeda jika dilihat dari sisi etika berkomunikasi. Dan pada konteks sinilah peribahasa kata-katamu adalah Harimaumu, menjadi relevan. Kalimat itu mengandung suatu makna bahwa tutur kata yang tanpa mengindahkan etika hidup bersama, memiliki resiko tertentu.

Konsep “etika” sering digunakan sinonim dengan “moral”. Aristoteles di dalam uraian teorinya tentang moral, menggunakan istilah “ethe” (bahasa Yunani) yang berarti baik buruknya suatu sifat (kejahatan dan keutaman). Dalam bahasa latin kata Yunani “ethikos” diterjemahkan menjadi mores yang berarti kebiasaan. Istilah itu kemudian berubah arti dalam buku Aristoteles; “Ethique a Nicomaque”, karena selain kata ethos yang berarti kualitas dari suatu sifat, digunakan juga istilah ethos yang berarti kebiasaan. Ethos berarti suatu cara berpikir dan merasakan, suatu cara bertindak dan bertingkah laku yang memberi ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok dan sekaligus merupakan tugas. Etika kemudian menjadi sinonim dengan moral jika dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan entah relatif entah mutlak. Jadi moral merupakan wacana normatif dan imperative yang diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban seseorang. Jadi kata moral mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya, dan cara mengungkapkannya. Dengan demikian, konsep moral mengandung dua makna; Pertama, menyangkut keseluruhan aturan dan norma yang berlaku yang diterima oleh suatu komunitas masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk. Kedua, merefleksikan tentang aturan-aturan tersebut dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya.

Setelah kita mengetahui konsep etika dan moral dalam komunikasi serta mengerti tujuan komunikasi untuk mengaktualisasikan potensi diri, maka kita terpanggil untuk membangun ruang publik yang demokratis melalui budaya komunikasi yang santun. Dan membangun ruang publik yang santun, erat kaitannya dengan bagaimana membangun etika politik suatu bangsa. Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup secara baik bersama dan untuk orang lain.” Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujutan sikap dan perilaku warga negara. Warga Negara yang baik adalah mereka yang selalu mengedepankan sikap jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan diri atau golongannya sendiri. Jadi warga negara yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutaman moral.

Membangun budaya santun kemudian sama dengan membangun kondisi kehidupan bersama yang manusiawi. Kondisi semacam itu hanya mungkin terjadi jika setidaknya memenuhi dua syarat yaitu: menghormati pluralitas (memberdayakan ruang publik) dan tidak membungkam ingatan sosial. Yang dimaksudkan dengan ruang publik adalah ruang kebebasan berekspresi dan kesamaan derajat kemanusiaan. Hal ini tercipta bila warga negara bertindak bersama dalam koordinasi etika tertentu yang diaplikasikan melalui wicara dan persuasi, bukan dengan kekerasan (baik kekerasan verbal maupun non verbal) apalagi dengan melakukan intimidasi. Selain itu, ruang publik juga berarti semua bentuk institusi dan lingkup yang memberi konteks bagi kegiatan warga negara. Dengan demikian, ruang publik merupakan sarana untuk meningkatkan identitas warga negara. Mudah-mudahan dengan penataan ruang publik secara baik, berbagai kasus seperti yang terjadi di ruang publik yang berawal dari masalah facebook yang berujung pada rendahnya kualitas kemanusian manusia kita, kedepannya bisa diminimalisir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline